Senin, 23 April 2012

MENGURAI BENANG KUSUT


Sudah lebih setengah abad Indonesia merdeka. Paling tidak sudah lima dasa warsa lebih Indonesia seharusnya memiliki kamandirian untuk membangun masyarakat dan negaranya menjadi lebih baik. Namun, seperti kita ketahui bersama, saat ini kita berada dalam kondisi miskin dan pemiskinan, dalam situasi "bunuh diri" terus menerus. Proses penghancuran terhadap hal-hal yang pernah kita miliki.

Sebagai perbandingan, misalnya, negara Jerman pada tahun 1945, akibat Perang Dunia II, nyaris hancur lebur. Dari 2200 sekolah yang dimiliki negara tersebut, hanya 212 sekolah yang masih bisa dipakai menyekolahkan anak-anak mudanya. Kita tahu, saat ini negara Jerman merupakan salah satu negara yang maju di Eropa, bahkan dunia.

Jepang sebagai contoh lain. Negara tersebut pada tahun 1945 hancur berkeping-keping. Hampir sepertiga negaranya berantakan. Dan jangan lupa, secara geografis negara Jepang juga bukan negara yang "apa-apa punya". Negara Matahari itu adalah negara yang tanahnya tidak terlalu berbaik hati untuk memberikan sumbangan kekayaan. Tapi dunia tahu, sekarang Jepang merupakan negara yang Amerika pun sangat iri atas kemajuan dan kesuksesan yang ditempuh oleh masyarakat Jepang.

* * *
Belajar dari kenyataan itu, tentu ada sesuatu yang salah dengan "sejarah pembangunan" Indonesia. Dengan peluang yang tidak lebih buruk, dengan kondisi kekayaan alam yang berlimpah, dengan jumlah penduduk ratusan juta, letak geografis yang sangat strategis, seharusnya, paling tidak, Indonesia bukan malah menjadi salah satu negara paling miskin dan terbrengsek di dunia.

Kondisi itu, kita sama-sama tahu, adalah sebagai berikut. Pertama, rendahnya pendapatan perkapita masyarakat Indonesia yang hanya berkisar 400 dolar Amerika per tahun, jika rupiah hanya berharga Rp8.000,- apalagi jika lebih rendah dari itu. Ditambah dengan kenyataan lain. Pada pertengahan tahun 1998, jumlah pengangguran di Indonesia sudah mencapai 15,3 juta orang. Bahkan, pasca kerusuhan dan tekanan krisis ekonomi dan politik yang semakin memburuk, angka pengangguran pada akhir Mei 1998 sudah menembus angka 21 juta orang.

Hal yang juga mengenaskan adalah ada 10 juta anak usia sekolah di Indonesia pada tahun 1998 tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Dari catatan tersebut dapat diperhitungkan pendidikan dan kualitas SDM masyarakat Indonesia pada 20 hingga 30 tahun mendatang diramalkan mengalami penurunan yang signifikan. Orang Indonesia, demikian laporan UNICEF, akan mengalami inferioritas memasuki abad 21.

Pada pertengahan tahun 1997, orang miskin di Indonesia, menurut Biro Pusat Statistik (BPS), tidak lebih dari 13 juta orang. Jumlah tersebut sempat merosot dibanding tahun sebelumnya yang masih berjumlah sekitar 25 juta orang. Angka tersebut sesungguhnya menggambarkan kesuksesan semu pemerintahan Orde Baru dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia yakni apa yang biasa disebut dengan  program pengentasan kemiskinan. Bentuk Program pengentasan kemiskinan tersebut dilaksanakan dengan diadakannya proyek-proyek IDT (Inpres Desa Tertinggal).

Akan tetapi, pada awal bulan Juli 1998, BPS mencatat bahwa orang miskin (baru) pada akhir Mei 1998 tercatat sebanyak 79,4 juta orang. Bahkan pada akhir tahun 1998, jika hal tersebut tidak tertanggulangi, maka jumlah orang miskin di Indonesia menjadi sebesar 95,8 hingga 100 juta orang lebih. Ukuran kemiskinan yang dipakai BPS cukup jelas yaitu bagi mereka yang konsumsi makannya per hari di bawah 2100 kalori. Artinya, dari segi pemenuhan kebutuhan manusia yang hidup secara wajar, konsumsi di bawah 2100 kalori dianggap miskin terlepas dari berbagai kondisi dan situasi yang berbeda.

Karena kekurangan gizi itu, itulah sebabnya, pada masa yang akan datang ada kemungkinan peluang (masyarakat) Indonesia untuk menggapai kemajuan justru mundur ke belakang. Karena, secara fisik saja misalnya tinggi badan sebagian masyarakat Indonesia akan turun 2-3 cm. Di samping itu, IQ masyarakat Indonesia juga akan mengalami penurunan sebanyak 5 angka. (Artinya, secara umum masyarakat Indonesia bertambah bodoh). Dan ini tentu saja berimplikasi sangat serius ketika masyarakat Indonesia, mau tidak mau, harus bersaing secara kompetitif dan terbuka dengan masyarakat dunia, masyarakat global.

Tegasnya, alangkah banyaknya orang Indonesia kehilangan harapan terhadap perbaikan kehidupan dan masa depannya. Mimpi dan harapan-harapan masa depan masyarakat Indonesia hancur berantakan. Masyarakat Indonesia yang de jure telah merdeka lebih dari setengah abad, ternyata tidak mendapatkan kemajuan yang berarti. Negara yang merdeka tersebut dikelola dengan cara yang salah sehingga menjerumuskan bangsa dan negaranya ke jurang kehancuran.

* * *
Masalah-masalah tersebut di atas tentu saja tidak bisa diatasi dengan mudah. Untuk mengatasi persoalan tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan dalam sebuah siarannya pada Januari 1999 sebuah stasiun swasta memberi informasi bahwa perbaikan yang sedang dihadapi Indonesia membutuhkan waktu lebih dari 35 tahun. Itu artinya hampir 2 generasi. Jika satu generasi diandaikan antara 15 hingga 20 tahun.

Mengapa membutuhkan waktu demikian lama, karena kondisi internal kita memang demikian buruk. Saya ingin menyebutkan bahwa kondisi internal itu seperti merajut benang-benang pembangunan yang salah urus atau bahkan direkayasa sedemikian rupa sehingga menjadi demikian kusutnya.

Kalau yang terjadi adalah merajut benang pembangunan, tetapi secara tidak sengaja tidak tahu cara merajut yang benar sehingga yang terjadi adalah kekusutan, maka mungkin sedikit bisa dimakalumi. Tetapi jika kekusutan tersebut disengaja justru untuk melanggungkan kekuasaan, hal tersebut adalah sebuah kejahatan politik. Kita percaya yang terjadi adalah hal yang kedua ini. Dan tuga kita sekarang adalah mengurai benang kusut itu, untuk kemudian bersama-sama kembali membangun, meminjam istilah yang baru-baru ini disebut B. Anderson, demi sebuah "proyek bersama". (Dalam ceramahnya di Graha Saba Pramana UGM, 1998).

Hal-hal apa saja yang membuat kekusutan itu. Pertama, arogansi kekuasaan yang yang dijalin sedemikian rupa sehingga dengan sukses membangun dirinya menjadi hegemonik. Sebagai akibatnya, jalinan-jalinan kekusutan itu lambat laun berubah menjadi semacam kebudayaan. Kita tahu jika hal tersebut menjadi semacam kebudayaan, maka kebudayaan akan mengalami kesulitan tersendiri mengurai dirin ya, walau diketahui ada yang tidak beres dengan uraian budaya kekuasaan tersebut.

Kedua, kekusutan lain yang tidak kalah membingungkannya adalah adanya jaringan (baca: struktur) ekonomi yang menindas. Maksudnya, yang kuat menindas yang lemah. Yang kuat bertambah kuat, yang lemah bertambah lemah. Sebagai akibatnya, sekali lagi, anyaman yang kacau itu membuat masyarakat terperangkap dalam satu jalinan buntu, tidak tahu harus berbuat apa. Atau kalau toh tahu, tidak berdaya bagaimana agar bisa keluar dari kekusutan ekonomis tersebut.

Ketiga, sebagai akibat dari pertama, jalinan kekusutan itu diperkusut dengan adanya simpul-simpul mati KKN. Tetapi saya ingin menegaskan bahwa sebetulnya simpul-simpul KKN yang dirancang oleh pemerintah Orba adalah dengan membiarkan benang-benang kemunafikkan. Kita tahu bahwa begitu banyak hal-hal yang tidak benar, tidak bermoral, kemudian kita terperangkap sedemikian rupa dalam kekusutan itu sendiri. Artinya, jujur saja, kita sendiri tidak jarang merupakan bagian dari kekusutan itu.

Keempat, kekusutan itu diperparah oleh benang-benang hukum yang tidak ditegakkan sebagai mana mestinya. Atau paling tidak hukum diperlakukan sebagaimana ia diatur dalam wacana yang telah disebutkan di atas. Padahal, seharusnya, hukum diberlakukan sebagaimana ia seharusnya berlaku. Sebagai akibatnya, ketika masalah ini dibiarkan terus menerus, maka dia menggumpal menjadi sebuah labirin besar.

Kelima, kekusutan itu diperparah oleh sistem pendidikan yang "diatur" sedemikian rupa dalam benang-benang kepentingan kekuasaan yang menyimpulkan dirinya secara salah, sebagai sumber dari kekusutan yang sedang kita bicarakan ini. Tidak heran jika pendidikan kita tidak pernah mampu mengatasi berbagai problem yang dihadapi oleh bangsanya. Ada semacam ketakutan  yang disadari sehingga masalah mutu pendidikan pun sangat bergantung dengan situasi-situasi yang telah disebutkan, yang praktis mengontrolnya secara ketat. Apakah itu berkaitan dengan wacana keilmiahan, mutu dan sistem prestasi, pendanaan, sarana dan prasarana, dan sebagainya.

Keenam, kekusutan itu semakin diperumit dengan jaringan benang SARA yang palsu dan menipu demi kepentingan terpeliharanya kekuasaan mutlak. Masyarakat tidak diajarkan untuk berbeda, tetapi justru dipaksa untuk seolah-olah sama (satu). Kondisi ini justru membuat masyarakat memiliki pengetahuan yang palsu pula apakah ia berada di luar atau di dalam kekusutan.
* * *
Sudah bukan rahasia, tentu ada yang salah dalam mengelola Indonesia pada masa-masa sebelumnya. Itulah sebabnya, sepantasnya kita geram (dan bahkan marah) terhadap berbagai kejadian yang menimpa sebagai akibat pemerintahan Orde Baru seolah membawa kita dalam satu kekusutan-kekusutan dan saat ini kita terperangkap di dalamnya.

Memang, disadari bahwa terjadinya berbagai kekusutan itu tidak sepenuhnya merupakan problem internal Indonesia. Sebegitu jauh ada faktor-faktor eksternal yang ikut mempengaruhi sehingga kejadian pahit yang terjadi sekarang ini tidak dapat dihindari. Faktor-faktor eksternal itu antara lain.

Pertama, faktor yang bersifat makro (eksternal). Hal yang signifikan adalah perangkap tata hubungan internasional yang timpang. Dalam arti, sebagaimana diketahui, negara-negara kuat yang dominan, sebegitu jauh telah menskenario dan mendikte negara-negara sedang berkembang agar terus menerus dalam posisi ketergantungan dalam pengertiannya yang luas. Ketergantungan itu bisa dalam pengertian  ekonomi, politik, iptek, sosial budaya, dan seterusnya.

Ini tampak misalnya bahwa struktur dan wacana kapitalisme, yang menjadi ciri dari rezim Amerika misalnya, hampir mewarnai seluruh kinerja masyarakat dunia. Apakah itu dalam bentuk kehidupan ekonomi, pemanfaatan teknologi tinggi yang efektif dan efisien, gaya politik, serta berbagai gaya hidup sosial budaya lainnya.

Amerika sebagai negara adidaya tentu saja tidak mau melepaskan posisinya sebagai negara adidaya dan polisi dunia dengan mengalihkan "secara mudah" kemampuan-kemampuan yang mereka miliki (berkat kerja keras dan sistem yang kondusif). Sebaliknya, perkembangan kemampuan negara-negara lain yang memiliki kapasitas untuk berkembang selalu ditekan dengan kekuatan yang mereka miliki.

Penekanan tersebut bisa dengan mengekspor barang jadi secara terus menerus. Masyarakat Indonesia misalnya, terlanjur menjadi konsumen dan penikmat pasif dari produk-produk jadi buatan luar negeri (negara maju) sehingga terlanjur tidak dikondisikan untuk berpikir apakah barang-barang jadi tersebut bisa diproduksi sendiri di dalam negeri.

Kemungkinan lain adalah dengan menghancurkan secara nyata kekuatan penyeimbang yang secara langsung dianggap berbahaya bagi posisi tanpa tandingnya. Itu kelihatan bagaimana negara Amerika menghadapi Irak, beberapa negara di Timur Tengah dan Amerika Latin lainnya, serta kerja-kerja intelijen yang terselubung dan sangat rahasia untuk  penggagalan semua kegiatan di luar negaranya yang dianggap berbahaya bagi kedudukan dominannya.

Kedua, karena faktor pertama yang cukup dominan, maka akibat lebih jauh negara berkembang seperti Indonesia, tidak memiliki kekuatan apapun yang mampu dijadikan "kartu" untuk merumuskan dan merealisasikan kemampuan-kemampuan yang dimiliki dalam menentukan nasibnya sendiri. Parahnya, skenario dalam posisi ketergantungan membuat kinerja masyarakat selalu dalam keadaan pas-pasan, untuk tidak mengatakan bahwa sebetulnya dalam banyak hal kita hidup dalam kondisi yang serba terbatas.

Tegasnya, bukan saja dalam skala luas rakyat Indonesia dikondisikan dalam kekusutan yang melibatkan tata hubungan internasional, tetapi secara internal kita juga terjerumus dalam kukusutan-kekusutan dari dalam negeri sendiri, kekusutan kehidupan berbangsa dan bernegara.

* * *
Dengan demikian, sungguh malang nasib bangsa dan masyarakat Indonesia. Karena paling tidak ada dua pekerjaan besar yang harus dihadapi, baik sekarang maupun pada masa-masa yang akan datang. Padahal, adalah kenyataan bahwa tantangan tersebut harus dihadapi dalam kondisi yang buruk dan lemah dalam berbagai dimensinya.

Pertanyaan berikutnya seberapa jauh bangsa dan masyarakat Indonesia memiliki peluang untuk keluar dalam kekusutan tersebut. Pertanyaan tersebut memang sangat mencemaskan dan menakutkan. Namun begitu, tidak ada salahnya saya menguraikan beberapa ilustrasi dan analisis berikut.

Jawaban dari persoalan tersebut dengan mempersoalkan lebih dahulu mana yang lebih mendesak untuk "diatasi", problem yang bersifat eksternal atau internal. Jawaban bisa beragam, tergantung perspektif dan paradigma apa yang dipakai. Anggaplah ada suatu upaya internal dalam rangka mengurai kekusutan dalam negeri, tetapi apakah hal tersebut bisa berjalan sesuai dengan harapan jika kekusutan eksternal sama sekali tidak berubah.

Demikian pula sebaliknya, diandaikan ada upaya-upaya internasional untuk menata kembali kekusutan eksternal (internasional). Akan tetapi, hal tersebut juga menjadi tidak mungkin jika kekusutan internal sama sekali tidak menuju pada suatu peroses penguraian yang jernih, konseptual, dan gamblang.

Jawaban yang diharapkan tentu saja melakukan penguraian kekusutan tersebut secara sekaligus. Namun, seperti juga telah disinggung, hal tersebut tampaknya akan mengalami banyak kendala terutama ketika negara dominan seperti Amerika tidak berniat untuk merubah tata hubungan internasional yang terlanjur menguntungkan negaranya. Apalagi, bisa jadi kekusutan itu hanya dirasakan oleh negara seperti Indonesia, atau beberapa negara lain yang dirugikan oleh tata hubungan internasional yang tidak adil tersebut.

Jika perkiraan tersebut tidak terlalu meleset maka tidak ada satu kekuatan pun yang mampu merubah kakusutan tata hubungan internasional kecuali niat baik dari negara-negara super power. Barangkali yang bisa dikerjakan oleh negara-negara yang bergantung pada negara-negara kuat tersebut tidak lain adalah imbauan-imbauan moral agar negara kuat sedikti banyak bersedia untuk sharing atas banyak hal yang diperlukan demi terjaganya tata hubungan internasional yang adil, berkeseimbangan, saling mengutungkan, dan fair.

Akan tetapi, imbauan moral tersebut akan tidak berdaya guna jika tidak ada satu alasan pun yang membuat negara-negara maju dan kaya tertarik untuk melakukan suatu perubahan kebijakan jika negara-negara yang berteriak tersebut kacau, kusut, tidak aman, HAM diabaikan, hukum tidak ditegakkan, dan sebagainya.

* * *
 Itulah sebabnya, menilik persoalan itu tampaknya perjuangan dalam negeri  (sendiri) untuk mengatasi berbagai kekusutan lebih mendapatkan alasan yang signifikan dan mendesak. Muncul pertanyaan dari mana pekerjaan tersebut bisa dimulai.

Seperti telah diraikan pada tulisan terdahulu, paling tidak kita telah mengidentifikasi letak dan faktor-faktor yang menyebabkan kekusutan (internal) tersebut. Jawaban yang mungkin, sebagai ilustrasi, adalah dengan "mengurutkan" kembali satu persatu benang-benang yang terlibat dalam jalinan yang semrawut tersebut. Memang, dibutuhkan kehati-hatian agar dalam mengurutkan benang-benang tersebut tidak salah tarik sehingga justru menjadi tambah mbulet.

Dalam mengurutkan benang-benang yang kusut tersebut bukan saja membutuhkan waktu, tetapi sekaligus seperti dimulai dari awal. Memang, dalam situasi sekarang ini, tidak ada kata lain yang paling pantas diucapkan bahwa hampir dalam segala lini kehidupan kita harus memulainya kembali dari awal lagi. Apa yang kita miliki selama ini secara relatif sudah hancur(-hancuran).

Kita harus merunut kembali benang-benang politik yang terlanjur semrawut. Caranya dengan menegakkan etik dan hukum politik yang sesuai dengan nilai-nilai (apakah agama atau pancasila) sejauh hal tersebut memang sesuai dengan kejujuran dan keikhlasan hati nurani. Kita harus mengurai satu persatu benang-benang jaringan ekonomi yang selama ini tentu saja ada salah jalur sehingga KKN merajalela, misalnya.

Benang-benang hukum harus ditegakkan. Walaupun itu berat dan barangkali menyakitkan bagi pihak-pihak tertentu yang selama ini diuntungkan. Benang-benang pendidikan dirajut kembali sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan produk yang bermutu dan poruduknya diharapkan mampu membantu menguraikan benang- benang yang kusut itu.

Masalah SARA, HAM, dan sebagainya harus didefinisikan ulang sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman, dan disosialisasikan sedemikian rupa sehingga diharapkan tidak menambahkan kekusutan, dan sebagainya, dan sebagainya.

Ajakan tersebut tentu saja sangat sulit untuk direalisasikan. Tetapi, tidak ada rumus yang pasti selain kekuatan, kerja keras, dan niat baik dari diri kita sendiri. Seperti kata Tuhan, Allah tidak akan merubah nasib sebuah bangsa (kaum, masyarakat) jika masyarakat tersebut tidak (bermaksud, berniat, tidak mau kerja keras) merubah kehidupannya sendiri. Artinya, kalau niat dan kerja keras itu tidak ada dalam diri kita, jangan menangis kalau nasib bangsa dan masyarakat Indonesia selalu dalam kemalangan. * * *


MENJINAKKAN BOM WAKTU



 Ibarat pembangunan yang selama ini kita lakukan seperti merakit bom-bom waktu, dan bom-bom waktu itu sebagian sudah meledak, sebagian belum. Yang sudah meledak antara lain ledakan pertengahan Mei 1998 yang legendaris itu, disusul ledakan-ledakan sesudahnya seperti Kupang, Ujung Pandang, beberapa daerah di Jawa, Kalbar, tragedi Ambon, Aceh, dan sebagainya. Saat ini, saya yakin masih tersisa sejumlah bom waktu yang sewaktu-waktu siap meledak atau diledakkan.

Apa saja bahan-bahan bom waktu itu sehingga kita dapat menyimpulkan rangkaian dan jaringan yang dirancang lebih dari 30 tahun tersebut demikian kuat dan sulit dijinakkan. Rangkaian tersebut antara lain, pertama, arogansi kekuasaan yang berlebihan yang dengan sukses membangun dirinya menjadi dominatif, dengan kerahasiaan terhadap rumus-rumus yang terjamin (karena tidak ada orang yang berani membocorkannya).

Sebagai akibatnya, rangkaian (sistem) kekuasaan yang dominan (bahan hegemonis) itu lambat laun berubah menjadi semacam kebudayaan. Kita tahu jika hal tersebut menjadi semacam kebudayaan, maka kebudayaan akan mengalami kesulitan tersendiri "mendekonstruksi" dirinya, walau diketahui ada yang tidak beres dengan konstruksi budaya kekuasaan tersebut. Itulah sebabnya, untuk menghancurkan rangkaian (budaya) kekuasaan seperti itu tidak mustahil dibutuhkan ledakan itu sendiri. Dalam hal ini mungkin bisa saja kita menyebutnya sebagai revolusi sosial.

Kedua, sebagai akibat dari pertama, jaringan bom waktu tersebut diperkuat tenaga ledakannya dengan adanya kandungan instalasi KKN. Tetapi saya ingin menegaskan bahwa sebetulnya ramuan dari bom waktu yang dibangun oleh pemerintah Orba adalah dengan mengaktifkan moral kemunafikkan. Kita tahu bahwa begitu banyak hal-hal yang tidak benar, tidak bermoral, kemudian kita disetel sedemikian rupa untuk tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi tentu saja itu sementara. Suatu ketika ia pasti meledak dengan sendirinya.

Ketiga, pencanggihan lain yang tidak kalah penting dari rakitan bom waktu itu adalah jaringan (baca: struktur) ekonomi yang menindas. Artinya, yang kuat menin das yang lemah. Yang kuat bertambah kuat, yang lemah bertambah lemah. Sebagai akibatnya, rakitan ini mengandung potensi ledakan yang luar biasa rawannya.

Keempat, rakitan bom waktu tersebut diperumit dengan tidak ditegakkannya hukum. Atau paling tidak hukum diperlakukan sesuai dengan tuntutan rumus-rumus rakitan bom waktu. Padahal, seharusnya, hukum diberlakukan sebagaimana ia seharusnya berlaku. Sebagai akibatnya, jika masalah ini "diaktifkan" terus menerus, maka potensi ledakannya akan menjadi luar biasa. 

Kelima, bom waktu ditempatkan dalam suatu wadah yaitu sistem pendidikan yang diatur sedemikian rupa dalam konstelasi kepentingan tersebut di atas. Tidak heran jika pendidikan kita tidak pernah mampu mengatasi berbagai problem yang dihadapi oleh bangsanya. Ada semacam ketakutan  yang disadari sehingga masalah mutu pendidikan pun sangat bergantung dengan situasi-situasi yang telah disebutkan, yang praktis mengontrolnya secara ketat. Apakah itu berkaitan dengan wacana keilmiahan, mutu dan sistem prestasi, pendanaan, sarana dan prasarana, dan sebagainya.

Keenam, bom waktu itu semakin diperkuat dengan jaringan-jaringan SARA yang palsu dan menipu demi kepentingan terpeliharanya kekuasaan mutlak. Masyarakat tidak diajarkan untuk berbeda, tetapi justru dipaksa untuk seolah-olah sama (satu). (Dan tentu ini merupakan kekerasan tersendiri). Kondisi ini justru membuat masyarakat tidak pernah dewasa dan, sekali lagi, sangat mengandung potensi ledakan yang hebat pula.

* * *
Kini, Pak Harto memang turun dari kekuasaannya. Akan tetapi, itu sama dengan mengaktifkan bom-bom waktu yang selama ini telah dirakitnya. Bahkan, jika kita melihat berbagai fenomena yang terjadi saat ini, tidak mustahil tombol pemicu ledakan itu ada di tangannya. Kalau toh tidak di tangannya, paling tidak secara umum masih ada di bawah kendalinya. Tidak perlu disebutkan apa dan siapakah mereka itu.

Karena yang lebih penting dari itu adalah bahwa kita sekarang sudah mengetahui ada beberapa bom waktu yang belum meledak, dan seketika-seketika siap me/diledakkan. Artinya, paling tidak ada dua tantangan sekaligus yang harus diatasi. Pertama, mengetahui di mana saja letak bom waktu itu terpasang atau dipasang. Kedua, jika hal tersebut sudah diketahui, bagaimana kita menjinakkan bom waktu itu.

Sejauh ini, memang tidak ada rumus (pola) yang pasti di mana saja ledakan- ledakan yang sudah terjadi sehingga dapat dijadikan acuan atau perkiraan di tempat mana lagi bom waktu itu terpasang dan setiap saat siap meledak. Kita hanya mengetahui bahwa berbagai ledakan tersebut terjadi pada tempat-tempat sebagai berikut.

(1) Di tempat tersebut ada perbedaan kehidupan ekonomi yang timpang sehingga menimbulkan kecemburuan yang mencekam. Itu artinya, tesis ini secara tidak langsung ingin menyebutkan bahwa hampir di semua tempat di Indonesia merupakan tempat potensial terpasangnya bom waktu.

Ada bias tertentu jika ketimpangan tersebut dimaksudkan ketidakadilan pembagian kue pusat-daerah, misalnya. Sebagai implikasinya, sebetulnya ledakan mengarah pada "pemerintah pusat", tetapi yang kena getahnya adalah mereka yang dianggap perpanjangan tangan atau representasi pemerintah. Atau bisa jadi kepada mereka yang selama rezim Orde Baru mendapat keuntungan oleh rezim tersebut.

(2) Wilayah identifikasi keberadaan bom waktu itu semakin diperkecil dengan mengetahui adakah aspirasi suatu masyarakat tertentu (bisa jadi berdasarkan suku, agama, ras), selama ini tidak diperhatikan. Jika selama ini agak disia-siakan, atau bahkan justru dipolitisir, maka dapat diperkirakan tempat tersebut potensial adanya bom waktu.

(3) Keberadaan bom waktu tersebut semakin bisa dipastikan jika ada indikasi- indikasi tertentu yang secara "fisik" mengarah ke arah terjadinya ledakan. Indikasi tersebut bisa disebut provokator, dalang-dalang gelap, dan sebagainya. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan gelagat-gelagat tertentu yang seharusnya dapat diketahui dengan segera jika sistem intelijen kita berjalan dengan baik. Tetapi, sebetulnya, seburuk apapun mekanisme dan sistem intelijen kita, bukan hal terlalu sulit untuk membaca indikasi ledakan, kecuali memang ada unsur kesengajaan. 

* * *
Sekarang, kita membayangkan telah mengetahui beberapa tempat "diidentifikasi" ada bom waktunya sehingga mau tidak mau perlu dijinakkan. Langkah spontan  yang biasanya dilakukan tentu saja segera memanggil para ahli penjinak bom untuk segera mengatasi hal tersebut.

Ada beberapa kesulitan. Pertama, sebagaimana biasanya menghadapi bom waktu kita menjadi tegang karena dikondisikan waktu aktif kapan bom waktu itu seketika-seketika meledak. Ketegangan ini terus terang membuat kita gusar, gugup, marah, tidak bisa konsentrasi, grusa-grusu, bahkan tidak mustahil saling menyalahkan antara satu dengan yang lain. Kondisi ini sungguh memakan waktu sehingga pada akhirnya bom itu meledak juga.

Kesulitan kedua, jangan-jangan kita memang tidak punya ahli yang mampu menjinakkan bom waktu tersebut. Kalau toh punya, para ahli kita hanya mengetahui salah satu jaringan dalam bom waktu tersebut. Misalnya, mengetahui jaringan ekonominya, tetapi tidak mengatahui komplikasi jaringan lain. Ada yang ahli "kabel- kabel" moral, tetap buta soal politik. Padahal, rakitan bom waktu yang canggih tersebut demikian kompleks sehingga dibutuhkan keahlian yang kompleks pula.

Hal demikian mungkin masih bisa diatasi jika ada upaya pensinergian berbagai keahlian dalam satu jaringan kerja yang terpadu untuk mengatasi komplikasi rakitan bom waktu. Repotnya, kita lebih terkondisi oleh kesulitan pertama yang telah disebutkan di atas. Memang, mau tidak mau dibutuhkan mereka yang berkepala dan bertangan dingin untuk mengatasi bom waktu yang sedang aktif, yang sewaktu-waktu siap meledak. Kalau kita tidak menemukan "sosok" itu, saya khawatir bom-bom waktu akan berledakan lagi. 

Namun begitu, seperti kita lihat dalam film-film action, yang namanya menjinakkan bom waktu itu bukan saja keahlian dan kecekatan yang dibutuhkan. Kadang- kadang dibutuhkan juga nasib baik. Kalau mujur, kita bisa sukses menjinakkannya. Kalau tidak, apa boleh buat. Siap-siap saja menghadapi ledakan berikutnya. Barangkali di tempat kita masing-masing. * * *

KORUPSI DAN PERUBAHAN SOSIAL



Secara umum sering dikatakan bahwa korupsi langsung atau tidak ikut menghalangi progresi dan dinamika perubahan sosial. Juga sering disebut-sebut kasus korupsi pada banyak negara berkembang merupakan pengaruh langsung dari tindakan korupsi oleh perusahaan multinasional dan lemahnya hukum mengenai penyuapan di negara industri, apalagi di negara sedang berkembang.

Untuk itu menarik mempersoalkan ketika diketahui bahwa Indonesia termasuk 10 negara korupsi terbesar di dunia setelah Nigeria, Pakistan, Kenya, Banglades, Cina, Kamerun, Venezuela, Rusia, dan India, (data awal tahun 1997). Pemerintah berganti, dan kita selalu berharap korupsi dapat ditekan semaksimal mungkin. Tetapi, kenyataannya pada tahun 2000, korupsi di Indonesia malah nongkrong di no. 5 sebagai negara paling sukses besar-besaran korupsi di atas Azerbaijan, Ukraina, Yugoslavia, dan Negeria (Kompas, 20 Desember 2000). (Yang juga mengherankan, walau Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling besar korupsi di dunia, tetapi koruptor di Indonesia amatlah dikitnya).

Itulah sebabnya, perlu dipersoalkan sampai seberapa jauh korupsi menghambat jalannya perubahan sosial ke arah kondisi yang lebih kondusif, demokratis, dan moralis. Dan khususnya bagi Indonesia, di samping itu, tentunya adalah terciptanya kemajuan nasional seperti menjadi cita-cita masyarakat Indonesia.

Walaupun perlu diingat bahwa tentu saja bukan semata-mata korupsi yang menjadi faktor bagi penghalangan progresi dan dinamika perubahan. Sesungguhnyalah begitu banyak variabel yang dapat diperhitungkan sehubungan dengan berbagai perubahan yang dimungkinkan. Saya hanya akan mengkhususkan pada konteks persoalan tersebut.

* * *
Salah satu persoalan yang perlu dikaji adalah peluang-peluang apa yang memungkinkan dan dimungkinkan berkaitan dengan terjadinya korupsi. Salah satunya disebutkan karena lemahnya hukum mengenai penyuapan. Tetapi apakah kemudian jika terjadinya perbaikan atau bahkan pengerasan hukum mengenai masalah penyuapan dianggap akan mampu menyelesaikan masalah. Akan mampu mengatasi masalah korupsi sehingga akan terjadi pula perlancaran perubahan sosial?

Tesis di atas secara tidak langsung sesungguhnya ingin menegaskan bahwa faktor penting dari kemungkinan terjadinya progresi ke arah perubahan sosial adalah termaksimalkannya penggunaan dana dalam berbagai bentuknya. Dengan demikian, tesis tersebut secara implisit, sekali lagi, ingin menggarisbawahi bahwa tampak adanya semacam kepercayaan terhadap kapitalisme sebagai penggerak berbagai perubahan.

Sudah cukup banyak analisis yang menguraikan sebab-sebab terjadinya korupsi. Terlepas dari lemahnya sistem pengawasan dan hukum penyuapan, lebih dari itu hal yang paling utama perlu diperhitungkan bahwa yang melakukan korupsi tersebut adalah manusia. Artinya, pada tingkat tertentu "faktor manusia" berpengaruh secara langsung apakah itu berupa "mental korupsi" dalam segala maknanya, maupun pada akhirnya berpengaruh pada seretnya dinamika perubahan ke arah kemajuan nasional seperti yang telah digarisbawahi dalam GBHN.

Berdasarkan di atas, ada dua hal yang perlu diuraikan lebih jauh. Pertama, aspek-aspek apa saja yang berkaitan dengan korupsi, peluang, dan tantangannya. Kedua, dinamika perubahan sosial seperti apa yang dimaksudkan jika kasus korupsi dapat ditekan sedemikian rupa sehingga, paling tidak, terjadinya semacam demokratisasi, tidak hanya berkaitan dengan peluang bagi pemerataan perkembangan dan pertumbuhan, tetapi juga pemerataan bagi pemilikan ekonomis sehingga masyarakat memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan manusia "modern" dalam segala wacana dan maknanya.

* * *
Kita mulai dari persoalan pertama. Dalam pengertian umum yang dimaksud dengan korupsi adalah suatu perbuatan buruk, ilegal, di luar kesepakatan etis, yang berkaitan dengan proses pengambilan uang, apakah itu penggelapan uang, sogok, pungli, manipulasi angka-angka, dsb. Tetapi kemudian maknanya mengalami perluasan yakni segala perbuatan yang menimbulkan kerugian, pembusukan, dan kerusakan, dapat dikategorikan sebagai korupsi. Itu artinya, bukan saja hak-hal yang berkaitan dengan "pengambilan uang" secara tidak syah semata yang berkaitan dengan korupsi.

Akan tetapi, seperti juga diketahui, segala pebuatan yang melanggar ketentuan dan etika umum, dapat pula disebut korupsi. Sebagai contoh, korupsi terhadap waktu, saat begitu banyak pekerja yang santai atau bermain ketika jam kerja. Korupsi jabatan ketika ada orang yang memanfaatkan jabatannya untuk melakukan sesuatu di luar wewenang dan tanggung jawab jabatannya, dan sejumlah contoh lain.

Namun, pada akhirnya, secara umum korupsi lebih ditafsirkan sebagai "pengambilan uang" secara ilegal. Konsep ilegal dan legal memang perlu mendapat perhatian. Karena bisa saja korupsi itu justru dilakukan dalam "prosedur resmi". Artinya, yang sebagian besar terjadi adalah permainan angka-angka, tetapi hal tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur resmi birokrasi, diketahui oleh pihak yang berwenang, dan sah. Dengan begitu, secara hukum korupsi yang dilakukan dalam "prosedur resmi" itu akan sulit dituntut. Tidak perlu ragu, hal ini tentu banyak dilakaukan oleh pejabat pemerintahan, baik di daerah apalagi di pusat.

Persoalannya, peluang apa saja yang memungkinkannya. Pertama, terjadinya lingkaran setan "keserakahan" sehingga berapapun uang dan kekayaan yang dimiliki, selalu merasa kurang sehingga begitu banyak orang mencari celah-celah tertentu untuk mendapatkan tambahan, atau bahkan nafsu menumpuk kekayaan. Dalam banyak hal, fenomana lingkaran setan "keserakahan" tersebut menjadi semacam sikap budaya tahu sama tahu, dan menciptakan saling ketergantungan. Karenanya, banyak orang menjadi maklum dengan perbuatan korupsi. Apalagi lingkaran setan itu membuat siapa saja terlibat di dalamnya.

Kedua,  sebagai akibat pertama, kekuatan kontrol, yang diharapkan sebagai ujung tombak bagi tegaknya hukum berkenaan dengan kasus korupsi tidak dapat diberlakukan. Mengapa? Pada akhirnya yang serba menentukan bukan kekuatan hukum itu sendiri, tetapi justru niat baik dan "keberanian" moral manusianya melawan korupsi (baca: kejahatan pada umumnya) terjamin.

Padahal itu hanya terjadi ketika adanya jaminan hukum antara hak dan kewajiban yang betul-betul dilaksanakan. Ketiga, sebagai mana dapat kita baca, kasus korupsi justru paling banyak terjadi di negara sedang berkembang. Apakah data tersebut ingin mengatakan bahwa di negara maju tidak terjadi korupsi, tentu saja tidak.  Persolannya bukan pada negara sedang berkembang atau tidak, tetapi negara yang kehidupan demokrasinya rendah. Penjelasan tersebut sekaligus ingin mengatakan bahwa tidak semua negara berkembang kasus korupsinya besar, dan demikian pula sebaliknya.

Seberapa jauh nilai-nilai dan penerapan demokrasi dapat mengontrol lajunya korupsi. Ini terutama berkaitan dengan persoalan kedua dan ketiga. Yaitu, salah satu indikasi kualitatif kehidupan demokrasi adalah adanya jaminan hukum bagi warga negara untuk berbuat benar, sesuai dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban, jika itu dilakukan secara legal, sesuai dengan prosedur yang berlaku. Terlepas kaitannya dengan persoalan budaya, kenyataannya, hal inilah yang terutama membedakan dengan negara-negara yang kosus korupsinya kecil, katakanlah seperti Kanada, Denmark, Finlandia, Selandia Baru, dan beberapa negara (maju) lain.

* * *
Dari persoalan di atas, bagaimana hubungannya dengan terganggunya mekanisme dan dinamika perubahan sosial. Yang ingin ditegaskan oleh logika tersebut adalah ketika sebagian besar dana terakumulasi pada pihak-pihak tertentu secara pribadi dan tidak produktif. Karena, ada dua kemungkinan kemana perginya uang- uang korupsi tersebut. Pertama, jenis korupsi yang dilakukan karena desakan kebutuhan ekonomi yang menuntut, agar kehidupan ekonomi (seseorang beserta tanggungaannya) menjadi lebih longgar dalam batas-batas tertentu. Tetapi, korupsi jenis ini biasanya tidak besar-besaran, walaupun tentu saja tetap dilarang.

Kedua, jenis korupsi yang dilakukan bukan untuk sekadar melonggarkan kebutuhan ekonomis, tetapi diniatkan untuk penumpukan kekayaan secara pribadi. Dan ini biasanya dilakukan secara besar-besaran. Kemudian uang tersebut "tertimbun" di bank-bank, rumah-rumah pribadi, tanah-tanah pribadi, taman dan hutan pribadi, kenikmatan pribadi, dan lain-lain, yang kesemuanya terhenti hanya untuk kepentingan pribadi saja. Masyarakat tidak dapat memanfaatkannya.

Konsep penumpukan kekayaan tersebutlah yang secara langsung atau tidak ikut menghambat mekanisme dan progresi perubahan.  Hal tersebut terjadi karena sejumlah dana yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk proses pembangunan dan proyek-proyek sosial lainnya tidak dapat dipakai, tidak diputar, tidak termaksimalkan penggunaannya. Ia terhenti untuk keperluan pribadi-pribadi. * * *

BERSAMA KOLUSI MENUJU MASYARAKAT ADIL DAN MAKMUR




Pemerintah siapa pun di Indonesia, selalu ditantang untuk membuktikan janjinya menghapus kolusi, korupsi, nepotisme, dsb. pada masa-masa yang akan datang. Di sini saya hanya menyinggung persoalan kolusi, karena ia menjadi rangkaian utama dari terjadinya korupsi dan nepotisme. Muncul beberapa persoalan. Pertama, apakah mungkin. Kedua, berkaitan dengan mungkin atau tidak, seberapa jauh sesungguhnya kekolusian itu berdampak bagi perubahan-perubahan (sosial) ke arah kemajuan seperti telah digaribawahi oleh GBHN yakni terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Hal penting yang perlu dipersoalkan adalah apakah kolusi tersebut merupakan prilaku spontan dan insidental atau lebih merupakan suatu sikap kebudayaan. Upaya identifikasi ini sangat penting dan mendasar karena berkaitan secara langsung dengan kemungkinan apakah kolusi dan segala dampaknya itu dapat dihilangkan atau tidak. Pendek kata, jika kolusi adalah kasus spontan dan insidental maka cara memahaminya akan berbeda jika kolusi itu lebih sebagai manifestasi dari nilai-nilai dan sikap kebudayaan.

* * *
Pada dasarnya kolusi adalah terjadinya aktivitas persengkongkolan, perkongkalingkongan, antara dua pihak atau lebih berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan tertentu, dan biasanya bersifat politis dan ekonomis. Wacana persekongkolan atau perkongkalingkonan bagaimanapun bernada dasar negatif, sesuatu yang dianggap tidak baik, dilakukan secara "sembunyi -sembunyi" dan "di bawah tangan". Lain halnya jika dinamakan kerja sama, bisa berkonotasi netral, negatif, maupun positif.

Persekongkolan terjadi antara dua pihak atau lebih yang saling mengenal, terlebih-lebih ada unsur persaudaraan dan kekeluargaan di dalamnya (nepotisme), juga antara atasan dan bawahan, yang memiliki kesamaan-kesamaan tujuan dan ambisi, yang relatif saling tahu sama tahu, dan pada umumnya merupakan kerja sama yang saling bergantung dan menguntungkan.

Kegiatan kolusi bisa tanpa rencana, tetapi dapat pula karena direncanakan sebelumnya, tergantung situasi yang memungkinkan dan mengondisikannya. Yang tidak terencana, misalnya, ketika ada pihak tertentu secara sengaja atau tidak mengetahui kejahatan pihak lain. Kemudian, pihak yang melakukan kejahatan tersebut, agar kejahatannya tidak menyebar, memberikan tawaran "kerja sama" kepada pihak yang mengatahui. Kolusi terjadi atau tidak tergantung pihak yang mendapat tawaran kerja sama.

Karena kolusi pada dasarnya kegiatan "ilegal" yang menguntungkan, sangat sering tawaran tersebut diterima. Kemudian, terjadilah kerja sama yang saling bergantung dan menguntungkan itu. Kalau dikatakan ada perencanaannya, justru pada tindak korupsinya.

Tetapi tidak jarang pula justru bentuk kolusi sangat terencana. Atau dalam bahasa yang lebih populer adanya semacam rekayasa. Saya percaya bentuk rekayasa- rekayasa inilah yang secara umum sesungguhnya terjadi, baik dari bentuk kolusi yang secara politis dan ekonomis beruang gerak kecil (level rendah) hingga beruang gerak luas (level tinggi). Sebagai contoh, katakanlah pemilihan ketua RT di satu sisi dan pemilihan presiden di sisi lain.

Di sini memang secara sengaja hanya disebutkan beruang gerak politis dan ekonomis. Juga tidak secara spesifik menyebutkan mana yang lebih dominan dan sebagai motif bagi yang lain. Padahal, tentu saja ada faktor lain yang juga saling mempengaruhi dan bergantung. Bagaimanapun, kedua faktor tersebut dianggap cukup representatif bagi kemungkinan-kemungkinan lain.

* * *
Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan bentuk kolusi terencana itu selalu terjadi. Pertama, bahwa pada dasarnya motif-motif dengan tujuan tertentu tidak dapat direalisasikan begitu saja tanpa kerja sama yang berarti dari berbagai pihak. Untuk mengatasi struktur politik maupun ekonomi di Indonesia, agar dapat berdiri di atas (menguasasi), bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dikerjakan seorang diri. Dibutuhkan kerja sama yang terkonvergensi, semacam konglomerasi (pemusatan), agar tujuan tersebut dapat terfokus dan menggumpal. Itulah sebabnya, tidak jarang banyak orang justru memanfaatkan peluang- peluang "budaya" untuk tujuan-tujuan itu. Misalnya, budaya harmoni yang menghindari konflik, sikap tidak berani berkata terus terang, pakewuh yang tidak pada tempatnya, maupun sikap-sikap tidak kritis lainnya.

Kedua, struktur birokrasi sosial kemasyarakatan yang relatif tertutup, sehingga memberi peluang bagi masyarakat yang berkepentingan, untuk melakukan pembicaraan tersembunyi pada setiap levelnya secara aman. Hal tersebut sesungguhnya terjadi lebih karena adanya unsur "feodalisme", sehingga proses struktur birokrasinya mengalami perpanjangan yang tidak efektif dan efisien. Ketidakefektifan dan ketidakefisienan tersebutlah yang secara langsung memberi peluang bagi permainan-permainan tidak resmi dan terselubung, seperti secara umum kita menyebutnya kolusi.

Mengingat kebiasaan itu merupakan suatu pola prilaku yang terjadi secara sistemik dan berkelanjutan, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kolusi merupakan suatu pola umum yang membudaya. Jika ia menjadi suatu sikap budaya, maka kebudayaan mengalami kesulitan tertentu untuk membongkar dirinya bertransformasi ke satu sikap budaya lain yang berbeda. Apalagi jika kemungkinan transformasi tersebut tidak atau belum menjanjikan keuntungan apapun. Inilah yang biasa disebut bahwa kebudayaan mengatasi aspek struktural (mekanisme rasional).

* * *
Kesadaran tentang adanya ketidakberesan terhadap budaya kolusi tersebut terjadi ketika wacana yang dipakai dalam melihat persoalan berdiri di luar kondisi wacana budaya yang dimaksud. Itulah sebabnya, dalam hal ini tinjauan yang objektif dan ilmiah, yang berkaitan dengan seberapa jauh dampak budaya yang merugikan cita-cita nasional demi pencapaian masyarakat adil dan makmur, mendesak untuk dibuktikan lebih jauh.

Paling tidak ada dua dampak. Pertama, sederhananya bila ditempatkan dalam kepentingan ekonomis. Maka secara langsung budaya kolusi ikut menjaga dan menimbulkan korupsi, manipulasi, dan segala bentuk pengambilan uang negara (masyarakat) untuk keperluan yang sifatnya pribadi. Bisa pula dalam pengertian yang lebih luas, seperti korupsi waktu. Dalam hal ini budaya kolusi secara langsung ikut memelihara sikap tahu sama tahu, saling pengertian, atas berbagai "kejahatan" yang sedang dan akan terjadi.

Dengan sikap itu, begitu banyak kejahatan (ekonomi) yang tidak terbongkar. Kalau toh terdeteksi oleh sistem dan mekenisme yang dimungkinkannya, untuk proses lebih lanjut sering pula diselesaikan secara kolutif. Akibat pengunaan dana yang untuk keperluan pribadi itu, maka paling tidak maksimalisasi penggunaan dana untuk keperluan pembangunan nasional menjadi tergganggu atau tidak maksimal. Itu artinya, ikut memperlambat kemajuan nasinal dalam meraih masyarakat adil dan makmur.

Kedua, dalam kepentingan politis (sosial), budaya kolusi ikut melestarikan hal- hal yang bekaitan dengan penyalahgunaan jabatan, kepentingan-kepentingan politik pribadi yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, dan sebagainya. Tetapi, karena terlanjur dalam telikungan kolutif, maka banyak orang menjadi tidak memiliki keberanian untuk mempersoalkannya. Bukan saja pada sisi tertentu kita tahu sama tahu bahwa tidak ada jalur "hukum" yang jelas untuk mempersoalkan hal tersebut, tetapi seperti domino principle, jangan-jangan kita pun ikut kena getah dari berbagai kasus-kasus tidak sehat itu.

Sebagai contoh yang berkaitan dengan penyalahgunaan jabatan. Dalam dunia demokratis dan kompetitif, seharusnya seseorang mendapatkan peluang politis dan sosialnya, sesuai dengan prestasi yang dihasilkannya. Tetapi karena adanya  faktor kolutif, maka begitu banyak orang bekerja tidak sesuai dengan keahliannya, prestasi yang dimungkinkannya, dan sebagainya.

Akibatnya, begitu banyak persoalan yang berkaitan dengan bagaimana mencapai masyarakat yang sehat, berkualitas, bersaing secara sportif, sebagai indikator penting masyarakat adil dan makmur, tidak ditangani oleh manusia-manusia (SDM) yang berkualitas, yang berprestasi, dan proporsional sesuai dengan SDM yang selayaknya pula. Harap makmum, jika prosesi menuju masyarakat adil dan makmur pada tingkat tertentu hingga hari ini masih sebuah mimpi. * * *

BUDAYA HUKUM



Banyak di antara kita, terutama para pejabat dan aparat hukum dan pemerintahan, ketika ditanyakan bagaimana kelanjutan suatu peristiwa atau kejadian, maka jawaban baku yang akan kita dengar adalah bahwa perkara itu akan diperiksa atau diselesaikan atau ditindaklanjuti atau diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Kemudian, kita seolah mengalami katarsis dan kelegaan tersendiri bahwa sememangnyalah negara kita ini negara hukum. Senyatanyalah berbagai persoalan, apakah itu soal kecil atau besar, menyangkut orang penting atau tidak, akan mendapat perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku. Alangkah sakti dan mulianya suatu negara yang dengan taat asas dapat mentaati hukum yang berlaku.

Bagaimana melaksanakan atau menerapkan atau mempraktikkan hukum yang berlaku itu, memang persoalan lain. Karena semua telah diatur sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Segalanya telah termaktub dalam peraturan yang berlaku.

Tak pelak, tentu ada keanehan di dalamnya. Ada semacam ketaktransparanan yang disengaja pada prinsip-prinsip apa yang disebut sebagai hukum yang berlaku atau diberlakukan. Ada semacam temporalitas terbuka bagaimana seharusnya hukum tersebut diberlakukan.

Di sinilah persoalannya. Begitu banyak perkara yang seharusnya dapat diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku mengalami pemberlakuan terus menerus sesuai dengan konteks dan skenario kepentingan politik, ekonomi, bahkan sosial budaya. Oleh karenanya, prinsip hukum yang berlaku tidak lebih sebagai prinsip hukum yang diperlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum lain berdasarkan konteks kepentingan tertentu pula.

* * *
Dalam perspektif akademis, tentu saya memang bukan seorang dengan latar belakang ilmu hukum. Namun, sebagai warga negara Indonesia, sebagai manusia bebas, siapa pun ia, berhak memberikan pendapatnya untuk mempertanyakan kembali sesungguhnya apakah hukum itu. Apakah ia, sehingga siapa pun yang mengklaim dirinya sebagai manusia makhluk sosial, harus mempercayakan dirinya pada satu prinsip aturan main yang menata keberadaan dan hubungan diri dan masyarakatnya sesuai dengan "hukum-hukum" yang berlaku, atau tepatnya diberlakukan.

Secara implisit terlihat bahwa pada dasarnya hukum adalah suatu tata aturan main, berdasarkan prinsip-prinsip akal sehat dan rasional, yang mengacu pada nilai- nilai kemanusiaan (universal) dan yang bertujuan mengatur proses penyelenggaraan prikehidupan, yang pada gilirannya mendapat legitimasinya berdasarkan konsensus maksimal.
Dalam hal ini, hukum bernilai hukum jika ada logika sanksi yang dijadikan acuan keseimbangan ketika prinsip aturan main tersebut dilanggar atau tidak diberlakukan sebagaimana mestinya. Tentu saja prinsip sanksi tersebut tidak dalam pengertian kuantitatif semata, seperti halnya seorang koruptor selayaknya mendapat hukuman kurungan sekian bulan (tahun). Tetapi bisa pula dalam pengertian kualitatif yang berkaitan dengan sanksi moral. Misalnya saja pengutukan, pemrihatinan, dan sebagainya.

Pengertian tersebut tentu masih amat luas. Itulah sebabnya, kita mengenal tataran lain apakah itu hukum-hukum politik, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya, yang diberlakukan sesuai dengan konteks dan perspektif ketika hukum tersebut dimaksudkan. Secara lebih khusus pada akhirnya kita juga mengenal apa itu yang biasa disebut sebagai hukum pidana atau perdata.

Yang terpenting, hukumlah yang paling memiliki peluang besar dalam menjaga keberlangsungan suatu tatanan kebangsaan dan atau kenegaraan. Hal ini terjadi mengingat bahwa pada akhirnya berdirinya satu tatanan kebangsaan dan atau kenegaraan pada dasarnya adalah pengakuan terhadap hukum yang berlaku berdasarkan konsensus yang diakui secara bersama pula.

Prinsip ketatanan kebangsaan dan kenegaraan akan gugur dengan sendirinya jika masyarakat pendukungnya tidak mengakuinya lagi, atau, berdasarkan konsensus baru, memilih prinsip hukum lain yang relevan, sesuai dengan perubahan zaman dan nilai-nilai yang menyertainya.  

* * *
Bukan hal berlebihan jika dikatakan bahwa pembicaraan apapun yang berkaitan dengan hukum, besar atau kecil ia berdimensi politik dalam segala wacananya. Untuk tidak mengatakan bahwa varian apapun yang berkaitan dengan persoalan hukum, ia tidak bisa melepaskan dirinya dari kebudayaan tempat hukum tersebut diberlakukan.

Hal tersebut tampak, sekaligus menjadi sebab, ketika pada akhirnya praksis hukum mengalami pemberlakuan yang yang berbeda dan tidak konsisten karena mengalami penyesuaian dengan kekuatan "wacana" yang tengah berlangsung. Katakanlah bahwa tidak mustahil wacana politis dan ekonomis mampu menskenario ke arah mana atau bagaimana hukum tersebut diperlakukan. Singkat kata, hukum dapat diperlakukan sedemikian rupa oleh kekuatan tertentu yang dominan baik secara politik maupun ekonomi.

Artinya, hukum mendapat perlakuan yang berbeda disesuaikan dengan realitas persoalan yang dihadapinya. Dalam hal ini, realitas persoalan inilah yang mendapat subjektivikasi tertentu sesuai dengan kasus yang seharusnya diatasi secara objektif. Sebagai contoh, hukum akan mengalami perlakuan yang berbeda jika yang coba "ditata dan diatur" tersebut ternyata seseorang yang secara struktural berposisi di atas. Demikian sebaliknya.

Bukan dalam arti bahwa "struktur" semata-mata mengatasi prinsip hukum yang diberlakukan. Untuk konteks "struktur" bisa jadi ketakutanlah yang terjadi karena adanya semacam ketergantungan  tertentu yang bersifat ekonomis atau politis. Lebih dari itu, terjadi pula dialektika pada sisinya yang lain yakni budaya-budaya tertentu yang mengontrolnya. Dalam hal ini kita mengenal budaya pakewuh, segan, dan sejenisnya.

Mungkin itulah sebabnya, kadang-kadang saya curiga, jangan-jangan hukum yang sering kita bicarakan itu tidak lebih hanya dikenakan bagi mereka yang memang tidak memiliki kekuatan penawar menghadapi kekuatan "hukum yang diperlakukan" itu, karena secara politis dan ekonomis merupakan pihak yang terdominasi.

Dengan demikian, persoalannya bukan sekadar permainan kata-kata. Ada perbedaan makna yang serius berkaitan dengan penggunaan kata hukum yang berlaku, diberlakukan, atau diperlakukan berserta implikasi yang terkait dengannya. Prinsip hukum yang berlaku adalah perlakuan terhadap tata aturan yang menjadi konsensus atau kesepakatan bersama bagi masyarakat, terlepas apakah hukum tersebut memadai atau tidak untuk diberlakukan. Sementara itu, hukum yang diberlakukan adalah  pelaksanaan secara konsekuen dari prinsip hukum yang berlaku.

Lain halnya dengan hukum yang diperlakukan. Sebagai ilustrasi misalnya dengan contoh-contoh kalimat berikut. Pertama, "Ia tidak diperlakukan sebagaimana mestinya". Akan berbeda artinya dengan, kedua, "Ia tidak diberlakukan sebagai mana mestinya". Dan pasti akan sangat berbeda pula dengan kalimat ketiga. "Ia tidak berlaku sebagai mana mestinya".

Pada kelimat pertama, diandaikan ada pihak tertentu (subjek) yang memperlakukan sesuatu (objek) tidak sebagai mana mestinya. Objek dikenai perlakuan tertentu. Kalimat kedua diandaikan tanpa kehadiran subjek, tetapi secara objektif objek tidak diberlakukan sebagaimana seharusnya. Pada kalimat ketiga, justru subjek yang tidak berlaku sebagai mana mestinya tanpa pembayangan perlakuannya terhadap objek.

Sebagai resikonya, implikasi "teoretik"nya tentu berbeda-beda pula. Jika yang pertama yang terjadi, sama artinya telah terjadi pelecehan terhadap hukum. Jika yang kedua yang terjadi bukan pelecehan, tetapi hukum tidak ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya. Lebih tepat jika disebut terjadinya penyimpangan. Dan jika yang ketiga yang terjadi maka hukum di negara kita bukan suatu yang otonom yang mampu mengatasi persoalan yang berkaitan baik di dalam maupun di luar dirinya. Itu artinya, perlu konsensus lain yang baru yang relevan dengan berdaya guna demi kemandirian sebuah hukum.   

Nah, dalam hal ini saya tidak tahu pasti, sesungguhnya hukum dinegara kita ini mengikuti bukum yang berlaku, atau yang diberlakukan, atau justru yang diperlakukan. Saya khawatir yang terjadi adalah yang terakhir. Jika memang, alangkah runyamnya. * * *