Sudah lebih setengah abad Indonesia
merdeka. Paling tidak sudah lima dasa warsa lebih Indonesia seharusnya memiliki
kamandirian untuk membangun masyarakat dan negaranya menjadi lebih baik. Namun,
seperti kita ketahui bersama, saat ini kita berada dalam kondisi miskin dan
pemiskinan, dalam situasi "bunuh diri" terus menerus. Proses
penghancuran terhadap hal-hal yang pernah kita miliki.
Sebagai perbandingan, misalnya,
negara Jerman pada tahun 1945, akibat Perang Dunia II, nyaris hancur lebur.
Dari 2200 sekolah yang dimiliki negara tersebut, hanya 212 sekolah yang masih
bisa dipakai menyekolahkan anak-anak mudanya. Kita tahu, saat ini negara Jerman
merupakan salah satu negara yang maju di Eropa, bahkan dunia.
Jepang sebagai contoh lain. Negara
tersebut pada tahun 1945 hancur berkeping-keping. Hampir sepertiga negaranya
berantakan. Dan jangan lupa, secara geografis negara Jepang juga bukan negara
yang "apa-apa punya". Negara Matahari itu adalah negara yang tanahnya
tidak terlalu berbaik hati untuk memberikan sumbangan kekayaan. Tapi dunia
tahu, sekarang Jepang merupakan negara yang Amerika pun sangat iri atas
kemajuan dan kesuksesan yang ditempuh oleh masyarakat Jepang.
* * *
Belajar dari kenyataan itu, tentu
ada sesuatu yang salah dengan "sejarah pembangunan" Indonesia. Dengan
peluang yang tidak lebih buruk, dengan kondisi kekayaan alam yang berlimpah,
dengan jumlah penduduk ratusan juta, letak geografis yang sangat strategis,
seharusnya, paling tidak, Indonesia bukan malah menjadi salah satu negara
paling miskin dan terbrengsek di dunia.
Kondisi itu, kita sama-sama tahu,
adalah sebagai berikut. Pertama, rendahnya pendapatan perkapita masyarakat
Indonesia yang hanya berkisar 400 dolar Amerika per tahun, jika rupiah hanya
berharga Rp8.000,- apalagi jika lebih rendah dari itu. Ditambah dengan
kenyataan lain. Pada pertengahan tahun 1998, jumlah pengangguran di Indonesia
sudah mencapai 15,3 juta orang. Bahkan, pasca kerusuhan dan tekanan krisis
ekonomi dan politik yang semakin memburuk, angka pengangguran pada akhir Mei
1998 sudah menembus angka 21 juta orang.
Hal yang juga mengenaskan adalah ada
10 juta anak usia sekolah di Indonesia pada tahun 1998 tidak dapat melanjutkan
sekolahnya. Dari catatan tersebut dapat diperhitungkan pendidikan dan kualitas
SDM masyarakat Indonesia pada 20 hingga 30 tahun mendatang diramalkan mengalami
penurunan yang signifikan. Orang Indonesia, demikian laporan UNICEF, akan
mengalami inferioritas memasuki abad 21.
Pada pertengahan tahun 1997, orang
miskin di Indonesia, menurut Biro Pusat Statistik (BPS), tidak lebih dari 13
juta orang. Jumlah tersebut sempat merosot dibanding tahun sebelumnya yang
masih berjumlah sekitar 25 juta orang. Angka tersebut sesungguhnya
menggambarkan kesuksesan semu pemerintahan Orde Baru dalam mengentaskan
kemiskinan di Indonesia yakni apa yang biasa disebut dengan program pengentasan kemiskinan. Bentuk
Program pengentasan kemiskinan tersebut dilaksanakan dengan diadakannya
proyek-proyek IDT (Inpres Desa Tertinggal).
Akan tetapi, pada awal bulan Juli
1998, BPS mencatat bahwa orang miskin (baru) pada akhir Mei 1998 tercatat
sebanyak 79,4 juta orang. Bahkan pada akhir tahun 1998, jika hal tersebut tidak
tertanggulangi, maka jumlah orang miskin di Indonesia menjadi sebesar 95,8
hingga 100 juta orang lebih. Ukuran kemiskinan yang dipakai BPS cukup jelas
yaitu bagi mereka yang konsumsi makannya per hari di bawah 2100 kalori.
Artinya, dari segi pemenuhan kebutuhan manusia yang hidup secara wajar,
konsumsi di bawah 2100 kalori dianggap miskin terlepas dari berbagai kondisi
dan situasi yang berbeda.
Karena kekurangan gizi itu, itulah
sebabnya, pada masa yang akan datang ada kemungkinan peluang (masyarakat)
Indonesia untuk menggapai kemajuan justru mundur ke belakang. Karena, secara
fisik saja misalnya tinggi badan sebagian masyarakat Indonesia akan turun 2-3
cm. Di samping itu, IQ masyarakat Indonesia juga akan mengalami penurunan
sebanyak 5 angka. (Artinya, secara umum masyarakat Indonesia bertambah bodoh). Dan
ini tentu saja berimplikasi sangat serius ketika masyarakat Indonesia, mau
tidak mau, harus bersaing secara kompetitif dan terbuka dengan masyarakat
dunia, masyarakat global.
Tegasnya, alangkah banyaknya orang
Indonesia kehilangan harapan terhadap perbaikan kehidupan dan masa depannya.
Mimpi dan harapan-harapan masa depan masyarakat Indonesia hancur berantakan.
Masyarakat Indonesia yang de jure telah merdeka lebih dari setengah abad,
ternyata tidak mendapatkan kemajuan yang berarti. Negara yang merdeka tersebut
dikelola dengan cara yang salah sehingga menjerumuskan bangsa dan negaranya ke
jurang kehancuran.
* * *
Masalah-masalah tersebut di atas
tentu saja tidak bisa diatasi dengan mudah. Untuk mengatasi persoalan tersebut
membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan dalam sebuah siarannya pada Januari
1999 sebuah stasiun swasta memberi informasi bahwa perbaikan yang sedang
dihadapi Indonesia membutuhkan waktu lebih dari 35 tahun. Itu artinya hampir 2
generasi. Jika satu generasi diandaikan antara 15 hingga 20 tahun.
Mengapa membutuhkan waktu demikian
lama, karena kondisi internal kita memang demikian buruk. Saya ingin
menyebutkan bahwa kondisi internal itu seperti merajut benang-benang
pembangunan yang salah urus atau bahkan direkayasa sedemikian rupa sehingga
menjadi demikian kusutnya.
Kalau yang terjadi adalah merajut
benang pembangunan, tetapi secara tidak sengaja tidak tahu cara merajut yang
benar sehingga yang terjadi adalah kekusutan, maka mungkin sedikit bisa
dimakalumi. Tetapi jika kekusutan tersebut disengaja justru untuk melanggungkan
kekuasaan, hal tersebut adalah sebuah kejahatan politik. Kita percaya yang
terjadi adalah hal yang kedua ini. Dan tuga kita sekarang adalah mengurai
benang kusut itu, untuk kemudian bersama-sama kembali membangun, meminjam
istilah yang baru-baru ini disebut B. Anderson, demi sebuah "proyek
bersama". (Dalam ceramahnya di Graha Saba Pramana UGM, 1998).
Hal-hal apa saja yang membuat
kekusutan itu. Pertama, arogansi kekuasaan yang yang dijalin sedemikian rupa
sehingga dengan sukses membangun dirinya menjadi hegemonik. Sebagai akibatnya,
jalinan-jalinan kekusutan itu lambat laun berubah menjadi semacam kebudayaan.
Kita tahu jika hal tersebut menjadi semacam kebudayaan, maka kebudayaan akan
mengalami kesulitan tersendiri mengurai dirin ya, walau diketahui ada yang
tidak beres dengan uraian budaya kekuasaan tersebut.
Kedua, kekusutan lain yang tidak
kalah membingungkannya adalah adanya jaringan (baca: struktur) ekonomi yang
menindas. Maksudnya, yang kuat menindas yang lemah. Yang kuat bertambah kuat,
yang lemah bertambah lemah. Sebagai akibatnya, sekali lagi, anyaman yang kacau
itu membuat masyarakat terperangkap dalam satu jalinan buntu, tidak tahu harus
berbuat apa. Atau kalau toh tahu, tidak berdaya bagaimana agar bisa keluar dari
kekusutan ekonomis tersebut.
Ketiga, sebagai akibat dari pertama,
jalinan kekusutan itu diperkusut dengan adanya simpul-simpul mati KKN. Tetapi
saya ingin menegaskan bahwa sebetulnya simpul-simpul KKN yang dirancang oleh
pemerintah Orba adalah dengan membiarkan benang-benang kemunafikkan. Kita tahu
bahwa begitu banyak hal-hal yang tidak benar, tidak bermoral, kemudian kita
terperangkap sedemikian rupa dalam kekusutan itu sendiri. Artinya, jujur saja,
kita sendiri tidak jarang merupakan bagian dari kekusutan itu.
Keempat, kekusutan itu diperparah
oleh benang-benang hukum yang tidak ditegakkan sebagai mana mestinya. Atau
paling tidak hukum diperlakukan sebagaimana ia diatur dalam wacana yang telah
disebutkan di atas. Padahal, seharusnya, hukum diberlakukan sebagaimana ia
seharusnya berlaku. Sebagai akibatnya, ketika masalah ini dibiarkan terus
menerus, maka dia menggumpal menjadi sebuah labirin besar.
Kelima, kekusutan itu diperparah
oleh sistem pendidikan yang "diatur" sedemikian rupa dalam benang-benang
kepentingan kekuasaan yang menyimpulkan dirinya secara salah, sebagai sumber
dari kekusutan yang sedang kita bicarakan ini. Tidak heran jika pendidikan kita
tidak pernah mampu mengatasi berbagai problem yang dihadapi oleh bangsanya. Ada
semacam ketakutan yang disadari sehingga
masalah mutu pendidikan pun sangat bergantung dengan situasi-situasi yang telah
disebutkan, yang praktis mengontrolnya secara ketat. Apakah itu berkaitan
dengan wacana keilmiahan, mutu dan sistem prestasi, pendanaan, sarana dan
prasarana, dan sebagainya.
Keenam, kekusutan itu semakin
diperumit dengan jaringan benang SARA yang palsu dan menipu demi kepentingan
terpeliharanya kekuasaan mutlak. Masyarakat tidak diajarkan untuk berbeda,
tetapi justru dipaksa untuk seolah-olah sama (satu). Kondisi ini justru membuat
masyarakat memiliki pengetahuan yang palsu pula apakah ia berada di luar atau
di dalam kekusutan.
* * *
Sudah bukan rahasia, tentu ada yang
salah dalam mengelola Indonesia pada masa-masa sebelumnya. Itulah sebabnya,
sepantasnya kita geram (dan bahkan marah) terhadap berbagai kejadian yang
menimpa sebagai akibat pemerintahan Orde Baru seolah membawa kita dalam satu
kekusutan-kekusutan dan saat ini kita terperangkap di dalamnya.
Memang, disadari bahwa terjadinya
berbagai kekusutan itu tidak sepenuhnya merupakan problem internal Indonesia.
Sebegitu jauh ada faktor-faktor eksternal yang ikut mempengaruhi sehingga
kejadian pahit yang terjadi sekarang ini tidak dapat dihindari. Faktor-faktor
eksternal itu antara lain.
Pertama, faktor yang bersifat makro
(eksternal). Hal yang signifikan adalah perangkap tata hubungan internasional
yang timpang. Dalam arti, sebagaimana diketahui, negara-negara kuat yang
dominan, sebegitu jauh telah menskenario dan mendikte negara-negara sedang
berkembang agar terus menerus dalam posisi ketergantungan dalam pengertiannya
yang luas. Ketergantungan itu bisa dalam pengertian ekonomi, politik, iptek, sosial budaya, dan
seterusnya.
Ini tampak misalnya bahwa struktur
dan wacana kapitalisme, yang menjadi ciri dari rezim Amerika misalnya, hampir
mewarnai seluruh kinerja masyarakat dunia. Apakah itu dalam bentuk kehidupan
ekonomi, pemanfaatan teknologi tinggi yang efektif dan efisien, gaya politik,
serta berbagai gaya hidup sosial budaya lainnya.
Amerika sebagai negara adidaya tentu
saja tidak mau melepaskan posisinya sebagai negara adidaya dan polisi dunia
dengan mengalihkan "secara mudah" kemampuan-kemampuan yang mereka
miliki (berkat kerja keras dan sistem yang kondusif). Sebaliknya, perkembangan
kemampuan negara-negara lain yang memiliki kapasitas untuk berkembang selalu
ditekan dengan kekuatan yang mereka miliki.
Penekanan tersebut bisa dengan
mengekspor barang jadi secara terus menerus. Masyarakat Indonesia misalnya,
terlanjur menjadi konsumen dan penikmat pasif dari produk-produk jadi buatan
luar negeri (negara maju) sehingga terlanjur tidak dikondisikan untuk berpikir
apakah barang-barang jadi tersebut bisa diproduksi sendiri di dalam negeri.
Kemungkinan lain adalah dengan
menghancurkan secara nyata kekuatan penyeimbang yang secara langsung dianggap
berbahaya bagi posisi tanpa tandingnya. Itu kelihatan bagaimana negara Amerika
menghadapi Irak, beberapa negara di Timur Tengah dan Amerika Latin lainnya,
serta kerja-kerja intelijen yang terselubung dan sangat rahasia untuk penggagalan semua kegiatan di luar negaranya
yang dianggap berbahaya bagi kedudukan dominannya.
Kedua, karena faktor pertama yang
cukup dominan, maka akibat lebih jauh negara berkembang seperti Indonesia,
tidak memiliki kekuatan apapun yang mampu dijadikan "kartu" untuk
merumuskan dan merealisasikan kemampuan-kemampuan yang dimiliki dalam
menentukan nasibnya sendiri. Parahnya, skenario dalam posisi ketergantungan
membuat kinerja masyarakat selalu dalam keadaan pas-pasan, untuk tidak
mengatakan bahwa sebetulnya dalam banyak hal kita hidup dalam kondisi yang
serba terbatas.
Tegasnya, bukan saja dalam skala
luas rakyat Indonesia dikondisikan dalam kekusutan yang melibatkan tata
hubungan internasional, tetapi secara internal kita juga terjerumus dalam
kukusutan-kekusutan dari dalam negeri sendiri, kekusutan kehidupan berbangsa
dan bernegara.
* * *
Dengan demikian, sungguh malang
nasib bangsa dan masyarakat Indonesia. Karena paling tidak ada dua pekerjaan
besar yang harus dihadapi, baik sekarang maupun pada masa-masa yang akan
datang. Padahal, adalah kenyataan bahwa tantangan tersebut harus dihadapi dalam
kondisi yang buruk dan lemah dalam berbagai dimensinya.
Pertanyaan berikutnya seberapa jauh
bangsa dan masyarakat Indonesia memiliki peluang untuk keluar dalam kekusutan
tersebut. Pertanyaan tersebut memang sangat mencemaskan dan menakutkan. Namun
begitu, tidak ada salahnya saya menguraikan beberapa ilustrasi dan analisis
berikut.
Jawaban dari persoalan tersebut
dengan mempersoalkan lebih dahulu mana yang lebih mendesak untuk
"diatasi", problem yang bersifat eksternal atau internal. Jawaban
bisa beragam, tergantung perspektif dan paradigma apa yang dipakai. Anggaplah
ada suatu upaya internal dalam rangka mengurai kekusutan dalam negeri, tetapi
apakah hal tersebut bisa berjalan sesuai dengan harapan jika kekusutan
eksternal sama sekali tidak berubah.
Demikian pula sebaliknya, diandaikan
ada upaya-upaya internasional untuk menata kembali kekusutan eksternal
(internasional). Akan tetapi, hal tersebut juga menjadi tidak mungkin jika
kekusutan internal sama sekali tidak menuju pada suatu peroses penguraian yang
jernih, konseptual, dan gamblang.
Jawaban yang diharapkan tentu saja
melakukan penguraian kekusutan tersebut secara sekaligus. Namun, seperti juga
telah disinggung, hal tersebut tampaknya akan mengalami banyak kendala terutama
ketika negara dominan seperti Amerika tidak berniat untuk merubah tata hubungan
internasional yang terlanjur menguntungkan negaranya. Apalagi, bisa jadi
kekusutan itu hanya dirasakan oleh negara seperti Indonesia, atau beberapa
negara lain yang dirugikan oleh tata hubungan internasional yang tidak adil
tersebut.
Jika perkiraan tersebut tidak
terlalu meleset maka tidak ada satu kekuatan pun yang mampu merubah kakusutan
tata hubungan internasional kecuali niat baik dari negara-negara super power.
Barangkali yang bisa dikerjakan oleh negara-negara yang bergantung pada
negara-negara kuat tersebut tidak lain adalah imbauan-imbauan moral agar negara
kuat sedikti banyak bersedia untuk sharing atas banyak hal yang diperlukan demi
terjaganya tata hubungan internasional yang adil, berkeseimbangan, saling
mengutungkan, dan fair.
Akan tetapi, imbauan moral tersebut
akan tidak berdaya guna jika tidak ada satu alasan pun yang membuat
negara-negara maju dan kaya tertarik untuk melakukan suatu perubahan kebijakan
jika negara-negara yang berteriak tersebut kacau, kusut, tidak aman, HAM
diabaikan, hukum tidak ditegakkan, dan sebagainya.
* * *
Itulah sebabnya, menilik persoalan itu
tampaknya perjuangan dalam negeri
(sendiri) untuk mengatasi berbagai kekusutan lebih mendapatkan alasan
yang signifikan dan mendesak. Muncul pertanyaan dari mana pekerjaan tersebut
bisa dimulai.
Seperti telah diraikan pada tulisan
terdahulu, paling tidak kita telah mengidentifikasi letak dan faktor-faktor
yang menyebabkan kekusutan (internal) tersebut. Jawaban yang mungkin, sebagai
ilustrasi, adalah dengan "mengurutkan" kembali satu persatu
benang-benang yang terlibat dalam jalinan yang semrawut tersebut. Memang,
dibutuhkan kehati-hatian agar dalam mengurutkan benang-benang tersebut tidak
salah tarik sehingga justru menjadi tambah mbulet.
Dalam mengurutkan benang-benang yang
kusut tersebut bukan saja membutuhkan waktu, tetapi sekaligus seperti dimulai
dari awal. Memang, dalam situasi sekarang ini, tidak ada kata lain yang paling
pantas diucapkan bahwa hampir dalam segala lini kehidupan kita harus memulainya
kembali dari awal lagi. Apa yang kita miliki selama ini secara relatif sudah
hancur(-hancuran).
Kita harus merunut kembali
benang-benang politik yang terlanjur semrawut. Caranya dengan menegakkan etik
dan hukum politik yang sesuai dengan nilai-nilai (apakah agama atau pancasila)
sejauh hal tersebut memang sesuai dengan kejujuran dan keikhlasan hati nurani.
Kita harus mengurai satu persatu benang-benang jaringan ekonomi yang selama ini
tentu saja ada salah jalur sehingga KKN merajalela, misalnya.
Benang-benang hukum harus
ditegakkan. Walaupun itu berat dan barangkali menyakitkan bagi pihak-pihak
tertentu yang selama ini diuntungkan. Benang-benang pendidikan dirajut kembali
sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan produk yang bermutu dan poruduknya
diharapkan mampu membantu menguraikan benang- benang yang kusut itu.
Masalah SARA, HAM, dan sebagainya
harus didefinisikan ulang sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman, dan
disosialisasikan sedemikian rupa sehingga diharapkan tidak menambahkan
kekusutan, dan sebagainya, dan sebagainya.
Ajakan tersebut tentu saja sangat
sulit untuk direalisasikan. Tetapi, tidak ada rumus yang pasti selain kekuatan,
kerja keras, dan niat baik dari diri kita sendiri. Seperti kata Tuhan, Allah
tidak akan merubah nasib sebuah bangsa (kaum, masyarakat) jika masyarakat
tersebut tidak (bermaksud, berniat, tidak mau kerja keras) merubah kehidupannya
sendiri. Artinya, kalau niat dan kerja keras itu tidak ada dalam diri kita,
jangan menangis kalau nasib bangsa dan masyarakat Indonesia selalu dalam
kemalangan. * * *