Banyak di antara kita, terutama para
pejabat dan aparat hukum dan pemerintahan, ketika ditanyakan bagaimana
kelanjutan suatu peristiwa atau kejadian, maka jawaban baku yang akan kita
dengar adalah bahwa perkara itu akan diperiksa atau diselesaikan atau
ditindaklanjuti atau diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.
Kemudian, kita seolah mengalami
katarsis dan kelegaan tersendiri bahwa sememangnyalah negara kita ini negara
hukum. Senyatanyalah berbagai persoalan, apakah itu soal kecil atau besar,
menyangkut orang penting atau tidak, akan mendapat perlakuan yang sama sesuai
dengan hukum yang berlaku. Alangkah sakti dan mulianya suatu negara yang dengan
taat asas dapat mentaati hukum yang berlaku.
Bagaimana melaksanakan atau
menerapkan atau mempraktikkan hukum yang berlaku itu, memang persoalan lain.
Karena semua telah diatur sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Segalanya
telah termaktub dalam peraturan yang berlaku.
Tak pelak, tentu ada keanehan di
dalamnya. Ada semacam ketaktransparanan yang disengaja pada prinsip-prinsip apa
yang disebut sebagai hukum yang berlaku atau diberlakukan. Ada semacam
temporalitas terbuka bagaimana seharusnya hukum tersebut diberlakukan.
Di sinilah persoalannya. Begitu
banyak perkara yang seharusnya dapat diselesaikan sesuai dengan hukum yang
berlaku mengalami pemberlakuan terus menerus sesuai dengan konteks dan skenario
kepentingan politik, ekonomi, bahkan sosial budaya. Oleh karenanya, prinsip
hukum yang berlaku tidak lebih sebagai prinsip hukum yang diperlakukan sesuai
dengan prinsip-prinsip hukum lain berdasarkan konteks kepentingan tertentu
pula.
* * *
Dalam perspektif akademis, tentu
saya memang bukan seorang dengan latar belakang ilmu hukum. Namun, sebagai
warga negara Indonesia, sebagai manusia bebas, siapa pun ia, berhak memberikan
pendapatnya untuk mempertanyakan kembali sesungguhnya apakah hukum itu. Apakah
ia, sehingga siapa pun yang mengklaim dirinya sebagai manusia makhluk sosial,
harus mempercayakan dirinya pada satu prinsip aturan main yang menata
keberadaan dan hubungan diri dan masyarakatnya sesuai dengan
"hukum-hukum" yang berlaku, atau tepatnya diberlakukan.
Secara implisit terlihat bahwa pada
dasarnya hukum adalah suatu tata aturan main, berdasarkan prinsip-prinsip akal
sehat dan rasional, yang mengacu pada nilai- nilai kemanusiaan (universal) dan
yang bertujuan mengatur proses penyelenggaraan prikehidupan, yang pada
gilirannya mendapat legitimasinya berdasarkan konsensus maksimal.
Dalam hal ini, hukum bernilai hukum
jika ada logika sanksi yang dijadikan acuan keseimbangan ketika prinsip aturan
main tersebut dilanggar atau tidak diberlakukan sebagaimana mestinya. Tentu
saja prinsip sanksi tersebut tidak dalam pengertian kuantitatif semata, seperti
halnya seorang koruptor selayaknya mendapat hukuman kurungan sekian bulan
(tahun). Tetapi bisa pula dalam pengertian kualitatif yang berkaitan dengan
sanksi moral. Misalnya saja pengutukan, pemrihatinan, dan sebagainya.
Pengertian tersebut tentu masih amat
luas. Itulah sebabnya, kita mengenal tataran lain apakah itu hukum-hukum
politik, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya, yang diberlakukan sesuai dengan
konteks dan perspektif ketika hukum tersebut dimaksudkan. Secara lebih khusus
pada akhirnya kita juga mengenal apa itu yang biasa disebut sebagai hukum
pidana atau perdata.
Yang terpenting, hukumlah yang
paling memiliki peluang besar dalam menjaga keberlangsungan suatu tatanan
kebangsaan dan atau kenegaraan. Hal ini terjadi mengingat bahwa pada akhirnya
berdirinya satu tatanan kebangsaan dan atau kenegaraan pada dasarnya adalah
pengakuan terhadap hukum yang berlaku berdasarkan konsensus yang diakui secara
bersama pula.
Prinsip ketatanan kebangsaan dan
kenegaraan akan gugur dengan sendirinya jika masyarakat pendukungnya tidak
mengakuinya lagi, atau, berdasarkan konsensus baru, memilih prinsip hukum lain
yang relevan, sesuai dengan perubahan zaman dan nilai-nilai yang menyertainya.
* * *
Bukan hal berlebihan jika dikatakan
bahwa pembicaraan apapun yang berkaitan dengan hukum, besar atau kecil ia
berdimensi politik dalam segala wacananya. Untuk tidak mengatakan bahwa varian
apapun yang berkaitan dengan persoalan hukum, ia tidak bisa melepaskan dirinya
dari kebudayaan tempat hukum tersebut diberlakukan.
Hal tersebut tampak, sekaligus
menjadi sebab, ketika pada akhirnya praksis hukum mengalami pemberlakuan yang
yang berbeda dan tidak konsisten karena mengalami penyesuaian dengan kekuatan
"wacana" yang tengah berlangsung. Katakanlah bahwa tidak mustahil
wacana politis dan ekonomis mampu menskenario ke arah mana atau bagaimana hukum
tersebut diperlakukan. Singkat kata, hukum dapat diperlakukan sedemikian rupa
oleh kekuatan tertentu yang dominan baik secara politik maupun ekonomi.
Artinya, hukum mendapat perlakuan
yang berbeda disesuaikan dengan realitas persoalan yang dihadapinya. Dalam hal
ini, realitas persoalan inilah yang mendapat subjektivikasi tertentu sesuai
dengan kasus yang seharusnya diatasi secara objektif. Sebagai contoh, hukum
akan mengalami perlakuan yang berbeda jika yang coba "ditata dan
diatur" tersebut ternyata seseorang yang secara struktural berposisi di
atas. Demikian sebaliknya.
Bukan dalam arti bahwa
"struktur" semata-mata mengatasi prinsip hukum yang diberlakukan.
Untuk konteks "struktur" bisa jadi ketakutanlah yang terjadi karena
adanya semacam ketergantungan tertentu
yang bersifat ekonomis atau politis. Lebih dari itu, terjadi pula dialektika
pada sisinya yang lain yakni budaya-budaya tertentu yang mengontrolnya. Dalam
hal ini kita mengenal budaya pakewuh, segan, dan sejenisnya.
Mungkin itulah sebabnya,
kadang-kadang saya curiga, jangan-jangan hukum yang sering kita bicarakan itu
tidak lebih hanya dikenakan bagi mereka yang memang tidak memiliki kekuatan
penawar menghadapi kekuatan "hukum yang diperlakukan" itu, karena
secara politis dan ekonomis merupakan pihak yang terdominasi.
Dengan demikian, persoalannya bukan
sekadar permainan kata-kata. Ada perbedaan makna yang serius berkaitan dengan
penggunaan kata hukum yang berlaku, diberlakukan, atau diperlakukan berserta
implikasi yang terkait dengannya. Prinsip hukum yang berlaku adalah perlakuan
terhadap tata aturan yang menjadi konsensus atau kesepakatan bersama bagi
masyarakat, terlepas apakah hukum tersebut memadai atau tidak untuk
diberlakukan. Sementara itu, hukum yang diberlakukan adalah pelaksanaan secara konsekuen dari prinsip
hukum yang berlaku.
Lain halnya dengan hukum yang
diperlakukan. Sebagai ilustrasi misalnya dengan contoh-contoh kalimat berikut.
Pertama, "Ia tidak diperlakukan sebagaimana mestinya". Akan berbeda
artinya dengan, kedua, "Ia tidak diberlakukan sebagai mana mestinya".
Dan pasti akan sangat berbeda pula dengan kalimat ketiga. "Ia tidak berlaku
sebagai mana mestinya".
Pada kelimat pertama, diandaikan ada
pihak tertentu (subjek) yang memperlakukan sesuatu (objek) tidak sebagai mana
mestinya. Objek dikenai perlakuan tertentu. Kalimat kedua diandaikan tanpa
kehadiran subjek, tetapi secara objektif objek tidak diberlakukan sebagaimana
seharusnya. Pada kalimat ketiga, justru subjek yang tidak berlaku sebagai mana
mestinya tanpa pembayangan perlakuannya terhadap objek.
Sebagai resikonya, implikasi
"teoretik"nya tentu berbeda-beda pula. Jika yang pertama yang
terjadi, sama artinya telah terjadi pelecehan terhadap hukum. Jika yang kedua
yang terjadi bukan pelecehan, tetapi hukum tidak ditempatkan pada proporsi yang
sebenarnya. Lebih tepat jika disebut terjadinya penyimpangan. Dan jika yang
ketiga yang terjadi maka hukum di negara kita bukan suatu yang otonom yang
mampu mengatasi persoalan yang berkaitan baik di dalam maupun di luar dirinya.
Itu artinya, perlu konsensus lain yang baru yang relevan dengan berdaya guna
demi kemandirian sebuah hukum.
Nah, dalam hal ini saya tidak tahu
pasti, sesungguhnya hukum dinegara kita ini mengikuti bukum yang berlaku, atau
yang diberlakukan, atau justru yang diperlakukan. Saya khawatir yang terjadi
adalah yang terakhir. Jika memang, alangkah runyamnya. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar