Senin, 23 April 2012

BUDAYA HUKUM



Banyak di antara kita, terutama para pejabat dan aparat hukum dan pemerintahan, ketika ditanyakan bagaimana kelanjutan suatu peristiwa atau kejadian, maka jawaban baku yang akan kita dengar adalah bahwa perkara itu akan diperiksa atau diselesaikan atau ditindaklanjuti atau diproses sesuai dengan hukum yang berlaku.

Kemudian, kita seolah mengalami katarsis dan kelegaan tersendiri bahwa sememangnyalah negara kita ini negara hukum. Senyatanyalah berbagai persoalan, apakah itu soal kecil atau besar, menyangkut orang penting atau tidak, akan mendapat perlakuan yang sama sesuai dengan hukum yang berlaku. Alangkah sakti dan mulianya suatu negara yang dengan taat asas dapat mentaati hukum yang berlaku.

Bagaimana melaksanakan atau menerapkan atau mempraktikkan hukum yang berlaku itu, memang persoalan lain. Karena semua telah diatur sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Segalanya telah termaktub dalam peraturan yang berlaku.

Tak pelak, tentu ada keanehan di dalamnya. Ada semacam ketaktransparanan yang disengaja pada prinsip-prinsip apa yang disebut sebagai hukum yang berlaku atau diberlakukan. Ada semacam temporalitas terbuka bagaimana seharusnya hukum tersebut diberlakukan.

Di sinilah persoalannya. Begitu banyak perkara yang seharusnya dapat diselesaikan sesuai dengan hukum yang berlaku mengalami pemberlakuan terus menerus sesuai dengan konteks dan skenario kepentingan politik, ekonomi, bahkan sosial budaya. Oleh karenanya, prinsip hukum yang berlaku tidak lebih sebagai prinsip hukum yang diperlakukan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum lain berdasarkan konteks kepentingan tertentu pula.

* * *
Dalam perspektif akademis, tentu saya memang bukan seorang dengan latar belakang ilmu hukum. Namun, sebagai warga negara Indonesia, sebagai manusia bebas, siapa pun ia, berhak memberikan pendapatnya untuk mempertanyakan kembali sesungguhnya apakah hukum itu. Apakah ia, sehingga siapa pun yang mengklaim dirinya sebagai manusia makhluk sosial, harus mempercayakan dirinya pada satu prinsip aturan main yang menata keberadaan dan hubungan diri dan masyarakatnya sesuai dengan "hukum-hukum" yang berlaku, atau tepatnya diberlakukan.

Secara implisit terlihat bahwa pada dasarnya hukum adalah suatu tata aturan main, berdasarkan prinsip-prinsip akal sehat dan rasional, yang mengacu pada nilai- nilai kemanusiaan (universal) dan yang bertujuan mengatur proses penyelenggaraan prikehidupan, yang pada gilirannya mendapat legitimasinya berdasarkan konsensus maksimal.
Dalam hal ini, hukum bernilai hukum jika ada logika sanksi yang dijadikan acuan keseimbangan ketika prinsip aturan main tersebut dilanggar atau tidak diberlakukan sebagaimana mestinya. Tentu saja prinsip sanksi tersebut tidak dalam pengertian kuantitatif semata, seperti halnya seorang koruptor selayaknya mendapat hukuman kurungan sekian bulan (tahun). Tetapi bisa pula dalam pengertian kualitatif yang berkaitan dengan sanksi moral. Misalnya saja pengutukan, pemrihatinan, dan sebagainya.

Pengertian tersebut tentu masih amat luas. Itulah sebabnya, kita mengenal tataran lain apakah itu hukum-hukum politik, sosial, ekonomi, dan lain sebagainya, yang diberlakukan sesuai dengan konteks dan perspektif ketika hukum tersebut dimaksudkan. Secara lebih khusus pada akhirnya kita juga mengenal apa itu yang biasa disebut sebagai hukum pidana atau perdata.

Yang terpenting, hukumlah yang paling memiliki peluang besar dalam menjaga keberlangsungan suatu tatanan kebangsaan dan atau kenegaraan. Hal ini terjadi mengingat bahwa pada akhirnya berdirinya satu tatanan kebangsaan dan atau kenegaraan pada dasarnya adalah pengakuan terhadap hukum yang berlaku berdasarkan konsensus yang diakui secara bersama pula.

Prinsip ketatanan kebangsaan dan kenegaraan akan gugur dengan sendirinya jika masyarakat pendukungnya tidak mengakuinya lagi, atau, berdasarkan konsensus baru, memilih prinsip hukum lain yang relevan, sesuai dengan perubahan zaman dan nilai-nilai yang menyertainya.  

* * *
Bukan hal berlebihan jika dikatakan bahwa pembicaraan apapun yang berkaitan dengan hukum, besar atau kecil ia berdimensi politik dalam segala wacananya. Untuk tidak mengatakan bahwa varian apapun yang berkaitan dengan persoalan hukum, ia tidak bisa melepaskan dirinya dari kebudayaan tempat hukum tersebut diberlakukan.

Hal tersebut tampak, sekaligus menjadi sebab, ketika pada akhirnya praksis hukum mengalami pemberlakuan yang yang berbeda dan tidak konsisten karena mengalami penyesuaian dengan kekuatan "wacana" yang tengah berlangsung. Katakanlah bahwa tidak mustahil wacana politis dan ekonomis mampu menskenario ke arah mana atau bagaimana hukum tersebut diperlakukan. Singkat kata, hukum dapat diperlakukan sedemikian rupa oleh kekuatan tertentu yang dominan baik secara politik maupun ekonomi.

Artinya, hukum mendapat perlakuan yang berbeda disesuaikan dengan realitas persoalan yang dihadapinya. Dalam hal ini, realitas persoalan inilah yang mendapat subjektivikasi tertentu sesuai dengan kasus yang seharusnya diatasi secara objektif. Sebagai contoh, hukum akan mengalami perlakuan yang berbeda jika yang coba "ditata dan diatur" tersebut ternyata seseorang yang secara struktural berposisi di atas. Demikian sebaliknya.

Bukan dalam arti bahwa "struktur" semata-mata mengatasi prinsip hukum yang diberlakukan. Untuk konteks "struktur" bisa jadi ketakutanlah yang terjadi karena adanya semacam ketergantungan  tertentu yang bersifat ekonomis atau politis. Lebih dari itu, terjadi pula dialektika pada sisinya yang lain yakni budaya-budaya tertentu yang mengontrolnya. Dalam hal ini kita mengenal budaya pakewuh, segan, dan sejenisnya.

Mungkin itulah sebabnya, kadang-kadang saya curiga, jangan-jangan hukum yang sering kita bicarakan itu tidak lebih hanya dikenakan bagi mereka yang memang tidak memiliki kekuatan penawar menghadapi kekuatan "hukum yang diperlakukan" itu, karena secara politis dan ekonomis merupakan pihak yang terdominasi.

Dengan demikian, persoalannya bukan sekadar permainan kata-kata. Ada perbedaan makna yang serius berkaitan dengan penggunaan kata hukum yang berlaku, diberlakukan, atau diperlakukan berserta implikasi yang terkait dengannya. Prinsip hukum yang berlaku adalah perlakuan terhadap tata aturan yang menjadi konsensus atau kesepakatan bersama bagi masyarakat, terlepas apakah hukum tersebut memadai atau tidak untuk diberlakukan. Sementara itu, hukum yang diberlakukan adalah  pelaksanaan secara konsekuen dari prinsip hukum yang berlaku.

Lain halnya dengan hukum yang diperlakukan. Sebagai ilustrasi misalnya dengan contoh-contoh kalimat berikut. Pertama, "Ia tidak diperlakukan sebagaimana mestinya". Akan berbeda artinya dengan, kedua, "Ia tidak diberlakukan sebagai mana mestinya". Dan pasti akan sangat berbeda pula dengan kalimat ketiga. "Ia tidak berlaku sebagai mana mestinya".

Pada kelimat pertama, diandaikan ada pihak tertentu (subjek) yang memperlakukan sesuatu (objek) tidak sebagai mana mestinya. Objek dikenai perlakuan tertentu. Kalimat kedua diandaikan tanpa kehadiran subjek, tetapi secara objektif objek tidak diberlakukan sebagaimana seharusnya. Pada kalimat ketiga, justru subjek yang tidak berlaku sebagai mana mestinya tanpa pembayangan perlakuannya terhadap objek.

Sebagai resikonya, implikasi "teoretik"nya tentu berbeda-beda pula. Jika yang pertama yang terjadi, sama artinya telah terjadi pelecehan terhadap hukum. Jika yang kedua yang terjadi bukan pelecehan, tetapi hukum tidak ditempatkan pada proporsi yang sebenarnya. Lebih tepat jika disebut terjadinya penyimpangan. Dan jika yang ketiga yang terjadi maka hukum di negara kita bukan suatu yang otonom yang mampu mengatasi persoalan yang berkaitan baik di dalam maupun di luar dirinya. Itu artinya, perlu konsensus lain yang baru yang relevan dengan berdaya guna demi kemandirian sebuah hukum.   

Nah, dalam hal ini saya tidak tahu pasti, sesungguhnya hukum dinegara kita ini mengikuti bukum yang berlaku, atau yang diberlakukan, atau justru yang diperlakukan. Saya khawatir yang terjadi adalah yang terakhir. Jika memang, alangkah runyamnya. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar