Secara umum sering dikatakan bahwa
korupsi langsung atau tidak ikut menghalangi progresi dan dinamika perubahan
sosial. Juga sering disebut-sebut kasus korupsi pada banyak negara berkembang
merupakan pengaruh langsung dari tindakan korupsi oleh perusahaan multinasional
dan lemahnya hukum mengenai penyuapan di negara industri, apalagi di negara
sedang berkembang.
Untuk itu menarik mempersoalkan
ketika diketahui bahwa Indonesia termasuk 10 negara korupsi terbesar di dunia
setelah Nigeria, Pakistan, Kenya, Banglades, Cina, Kamerun, Venezuela, Rusia,
dan India, (data awal tahun 1997). Pemerintah berganti, dan kita selalu
berharap korupsi dapat ditekan semaksimal mungkin. Tetapi, kenyataannya pada
tahun 2000, korupsi di Indonesia malah nongkrong di no. 5 sebagai negara paling
sukses besar-besaran korupsi di atas Azerbaijan, Ukraina, Yugoslavia, dan
Negeria (Kompas, 20 Desember 2000). (Yang juga mengherankan, walau Indonesia
dikenal sebagai salah satu negara paling besar korupsi di dunia, tetapi koruptor
di Indonesia amatlah dikitnya).
Itulah sebabnya, perlu dipersoalkan
sampai seberapa jauh korupsi menghambat jalannya perubahan sosial ke arah
kondisi yang lebih kondusif, demokratis, dan moralis. Dan khususnya bagi
Indonesia, di samping itu, tentunya adalah terciptanya kemajuan nasional
seperti menjadi cita-cita masyarakat Indonesia.
Walaupun perlu diingat bahwa tentu
saja bukan semata-mata korupsi yang menjadi faktor bagi penghalangan progresi
dan dinamika perubahan. Sesungguhnyalah begitu banyak variabel yang dapat
diperhitungkan sehubungan dengan berbagai perubahan yang dimungkinkan. Saya
hanya akan mengkhususkan pada konteks persoalan tersebut.
* * *
Salah satu persoalan yang perlu
dikaji adalah peluang-peluang apa yang memungkinkan dan dimungkinkan berkaitan
dengan terjadinya korupsi. Salah satunya disebutkan karena lemahnya hukum
mengenai penyuapan. Tetapi apakah kemudian jika terjadinya perbaikan atau
bahkan pengerasan hukum mengenai masalah penyuapan dianggap akan mampu
menyelesaikan masalah. Akan mampu mengatasi masalah korupsi sehingga akan
terjadi pula perlancaran perubahan sosial?
Tesis di atas secara tidak langsung
sesungguhnya ingin menegaskan bahwa faktor penting dari kemungkinan terjadinya
progresi ke arah perubahan sosial adalah termaksimalkannya penggunaan dana
dalam berbagai bentuknya. Dengan demikian, tesis tersebut secara implisit,
sekali lagi, ingin menggarisbawahi bahwa tampak adanya semacam kepercayaan
terhadap kapitalisme sebagai penggerak berbagai perubahan.
Sudah cukup banyak analisis yang
menguraikan sebab-sebab terjadinya korupsi. Terlepas dari lemahnya sistem
pengawasan dan hukum penyuapan, lebih dari itu hal yang paling utama perlu
diperhitungkan bahwa yang melakukan korupsi tersebut adalah manusia. Artinya,
pada tingkat tertentu "faktor manusia" berpengaruh secara langsung
apakah itu berupa "mental korupsi" dalam segala maknanya, maupun pada
akhirnya berpengaruh pada seretnya dinamika perubahan ke arah kemajuan nasional
seperti yang telah digarisbawahi dalam GBHN.
Berdasarkan di atas, ada dua hal
yang perlu diuraikan lebih jauh. Pertama, aspek-aspek apa saja yang berkaitan
dengan korupsi, peluang, dan tantangannya. Kedua, dinamika perubahan sosial
seperti apa yang dimaksudkan jika kasus korupsi dapat ditekan sedemikian rupa
sehingga, paling tidak, terjadinya semacam demokratisasi, tidak hanya berkaitan
dengan peluang bagi pemerataan perkembangan dan pertumbuhan, tetapi juga
pemerataan bagi pemilikan ekonomis sehingga masyarakat memiliki peluang yang
sama untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan manusia
"modern" dalam segala wacana dan maknanya.
* * *
Kita mulai dari persoalan pertama.
Dalam pengertian umum yang dimaksud dengan korupsi adalah suatu perbuatan
buruk, ilegal, di luar kesepakatan etis, yang berkaitan dengan proses
pengambilan uang, apakah itu penggelapan uang, sogok, pungli, manipulasi
angka-angka, dsb. Tetapi kemudian maknanya mengalami perluasan yakni segala
perbuatan yang menimbulkan kerugian, pembusukan, dan kerusakan, dapat
dikategorikan sebagai korupsi. Itu artinya, bukan saja hak-hal yang berkaitan
dengan "pengambilan uang" secara tidak syah semata yang berkaitan
dengan korupsi.
Akan tetapi, seperti juga diketahui,
segala pebuatan yang melanggar ketentuan dan etika umum, dapat pula disebut korupsi.
Sebagai contoh, korupsi terhadap waktu, saat begitu banyak pekerja yang santai
atau bermain ketika jam kerja. Korupsi jabatan ketika ada orang yang
memanfaatkan jabatannya untuk melakukan sesuatu di luar wewenang dan tanggung
jawab jabatannya, dan sejumlah contoh lain.
Namun, pada akhirnya, secara umum
korupsi lebih ditafsirkan sebagai "pengambilan uang" secara ilegal.
Konsep ilegal dan legal memang perlu mendapat perhatian. Karena bisa saja
korupsi itu justru dilakukan dalam "prosedur resmi". Artinya, yang
sebagian besar terjadi adalah permainan angka-angka, tetapi hal tersebut
dilakukan sesuai dengan prosedur resmi birokrasi, diketahui oleh pihak yang
berwenang, dan sah. Dengan begitu, secara hukum korupsi yang dilakukan dalam
"prosedur resmi" itu akan sulit dituntut. Tidak perlu ragu, hal ini
tentu banyak dilakaukan oleh pejabat pemerintahan, baik di daerah apalagi di
pusat.
Persoalannya, peluang apa saja yang
memungkinkannya. Pertama, terjadinya lingkaran setan "keserakahan"
sehingga berapapun uang dan kekayaan yang dimiliki, selalu merasa kurang
sehingga begitu banyak orang mencari celah-celah tertentu untuk mendapatkan
tambahan, atau bahkan nafsu menumpuk kekayaan. Dalam banyak hal, fenomana
lingkaran setan "keserakahan" tersebut menjadi semacam sikap budaya
tahu sama tahu, dan menciptakan saling ketergantungan. Karenanya, banyak orang
menjadi maklum dengan perbuatan korupsi. Apalagi lingkaran setan itu membuat
siapa saja terlibat di dalamnya.
Kedua, sebagai akibat pertama, kekuatan kontrol, yang
diharapkan sebagai ujung tombak bagi tegaknya hukum berkenaan dengan kasus
korupsi tidak dapat diberlakukan. Mengapa? Pada akhirnya yang serba menentukan
bukan kekuatan hukum itu sendiri, tetapi justru niat baik dan
"keberanian" moral manusianya melawan korupsi (baca: kejahatan pada
umumnya) terjamin.
Padahal itu hanya terjadi ketika
adanya jaminan hukum antara hak dan kewajiban yang betul-betul dilaksanakan.
Ketiga, sebagai mana dapat kita baca, kasus korupsi justru paling banyak
terjadi di negara sedang berkembang. Apakah data tersebut ingin mengatakan
bahwa di negara maju tidak terjadi korupsi, tentu saja tidak. Persolannya bukan pada negara sedang
berkembang atau tidak, tetapi negara yang kehidupan demokrasinya rendah.
Penjelasan tersebut sekaligus ingin mengatakan bahwa tidak semua negara
berkembang kasus korupsinya besar, dan demikian pula sebaliknya.
Seberapa jauh nilai-nilai dan
penerapan demokrasi dapat mengontrol lajunya korupsi. Ini terutama berkaitan
dengan persoalan kedua dan ketiga. Yaitu, salah satu indikasi kualitatif
kehidupan demokrasi adalah adanya jaminan hukum bagi warga negara untuk berbuat
benar, sesuai dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban, jika itu dilakukan
secara legal, sesuai dengan prosedur yang berlaku. Terlepas kaitannya dengan
persoalan budaya, kenyataannya, hal inilah yang terutama membedakan dengan
negara-negara yang kosus korupsinya kecil, katakanlah seperti Kanada, Denmark,
Finlandia, Selandia Baru, dan beberapa negara (maju) lain.
* * *
Dari persoalan di atas, bagaimana
hubungannya dengan terganggunya mekanisme dan dinamika perubahan sosial. Yang
ingin ditegaskan oleh logika tersebut adalah ketika sebagian besar dana
terakumulasi pada pihak-pihak tertentu secara pribadi dan tidak produktif.
Karena, ada dua kemungkinan kemana perginya uang- uang korupsi tersebut.
Pertama, jenis korupsi yang dilakukan karena desakan kebutuhan ekonomi yang
menuntut, agar kehidupan ekonomi (seseorang beserta tanggungaannya) menjadi
lebih longgar dalam batas-batas tertentu. Tetapi, korupsi jenis ini biasanya
tidak besar-besaran, walaupun tentu saja tetap dilarang.
Kedua, jenis korupsi yang dilakukan
bukan untuk sekadar melonggarkan kebutuhan ekonomis, tetapi diniatkan untuk
penumpukan kekayaan secara pribadi. Dan ini biasanya dilakukan secara
besar-besaran. Kemudian uang tersebut "tertimbun" di bank-bank,
rumah-rumah pribadi, tanah-tanah pribadi, taman dan hutan pribadi, kenikmatan
pribadi, dan lain-lain, yang kesemuanya terhenti hanya untuk kepentingan
pribadi saja. Masyarakat tidak dapat memanfaatkannya.
Konsep penumpukan kekayaan
tersebutlah yang secara langsung atau tidak ikut menghambat mekanisme dan
progresi perubahan. Hal tersebut terjadi
karena sejumlah dana yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk proses pembangunan
dan proyek-proyek sosial lainnya tidak dapat dipakai, tidak diputar, tidak
termaksimalkan penggunaannya. Ia terhenti untuk keperluan pribadi-pribadi. * *
*
Tidak ada komentar:
Posting Komentar