Senin, 23 April 2012

KORUPSI DAN PERUBAHAN SOSIAL



Secara umum sering dikatakan bahwa korupsi langsung atau tidak ikut menghalangi progresi dan dinamika perubahan sosial. Juga sering disebut-sebut kasus korupsi pada banyak negara berkembang merupakan pengaruh langsung dari tindakan korupsi oleh perusahaan multinasional dan lemahnya hukum mengenai penyuapan di negara industri, apalagi di negara sedang berkembang.

Untuk itu menarik mempersoalkan ketika diketahui bahwa Indonesia termasuk 10 negara korupsi terbesar di dunia setelah Nigeria, Pakistan, Kenya, Banglades, Cina, Kamerun, Venezuela, Rusia, dan India, (data awal tahun 1997). Pemerintah berganti, dan kita selalu berharap korupsi dapat ditekan semaksimal mungkin. Tetapi, kenyataannya pada tahun 2000, korupsi di Indonesia malah nongkrong di no. 5 sebagai negara paling sukses besar-besaran korupsi di atas Azerbaijan, Ukraina, Yugoslavia, dan Negeria (Kompas, 20 Desember 2000). (Yang juga mengherankan, walau Indonesia dikenal sebagai salah satu negara paling besar korupsi di dunia, tetapi koruptor di Indonesia amatlah dikitnya).

Itulah sebabnya, perlu dipersoalkan sampai seberapa jauh korupsi menghambat jalannya perubahan sosial ke arah kondisi yang lebih kondusif, demokratis, dan moralis. Dan khususnya bagi Indonesia, di samping itu, tentunya adalah terciptanya kemajuan nasional seperti menjadi cita-cita masyarakat Indonesia.

Walaupun perlu diingat bahwa tentu saja bukan semata-mata korupsi yang menjadi faktor bagi penghalangan progresi dan dinamika perubahan. Sesungguhnyalah begitu banyak variabel yang dapat diperhitungkan sehubungan dengan berbagai perubahan yang dimungkinkan. Saya hanya akan mengkhususkan pada konteks persoalan tersebut.

* * *
Salah satu persoalan yang perlu dikaji adalah peluang-peluang apa yang memungkinkan dan dimungkinkan berkaitan dengan terjadinya korupsi. Salah satunya disebutkan karena lemahnya hukum mengenai penyuapan. Tetapi apakah kemudian jika terjadinya perbaikan atau bahkan pengerasan hukum mengenai masalah penyuapan dianggap akan mampu menyelesaikan masalah. Akan mampu mengatasi masalah korupsi sehingga akan terjadi pula perlancaran perubahan sosial?

Tesis di atas secara tidak langsung sesungguhnya ingin menegaskan bahwa faktor penting dari kemungkinan terjadinya progresi ke arah perubahan sosial adalah termaksimalkannya penggunaan dana dalam berbagai bentuknya. Dengan demikian, tesis tersebut secara implisit, sekali lagi, ingin menggarisbawahi bahwa tampak adanya semacam kepercayaan terhadap kapitalisme sebagai penggerak berbagai perubahan.

Sudah cukup banyak analisis yang menguraikan sebab-sebab terjadinya korupsi. Terlepas dari lemahnya sistem pengawasan dan hukum penyuapan, lebih dari itu hal yang paling utama perlu diperhitungkan bahwa yang melakukan korupsi tersebut adalah manusia. Artinya, pada tingkat tertentu "faktor manusia" berpengaruh secara langsung apakah itu berupa "mental korupsi" dalam segala maknanya, maupun pada akhirnya berpengaruh pada seretnya dinamika perubahan ke arah kemajuan nasional seperti yang telah digarisbawahi dalam GBHN.

Berdasarkan di atas, ada dua hal yang perlu diuraikan lebih jauh. Pertama, aspek-aspek apa saja yang berkaitan dengan korupsi, peluang, dan tantangannya. Kedua, dinamika perubahan sosial seperti apa yang dimaksudkan jika kasus korupsi dapat ditekan sedemikian rupa sehingga, paling tidak, terjadinya semacam demokratisasi, tidak hanya berkaitan dengan peluang bagi pemerataan perkembangan dan pertumbuhan, tetapi juga pemerataan bagi pemilikan ekonomis sehingga masyarakat memiliki peluang yang sama untuk mengembangkan dirinya sesuai dengan tuntutan manusia "modern" dalam segala wacana dan maknanya.

* * *
Kita mulai dari persoalan pertama. Dalam pengertian umum yang dimaksud dengan korupsi adalah suatu perbuatan buruk, ilegal, di luar kesepakatan etis, yang berkaitan dengan proses pengambilan uang, apakah itu penggelapan uang, sogok, pungli, manipulasi angka-angka, dsb. Tetapi kemudian maknanya mengalami perluasan yakni segala perbuatan yang menimbulkan kerugian, pembusukan, dan kerusakan, dapat dikategorikan sebagai korupsi. Itu artinya, bukan saja hak-hal yang berkaitan dengan "pengambilan uang" secara tidak syah semata yang berkaitan dengan korupsi.

Akan tetapi, seperti juga diketahui, segala pebuatan yang melanggar ketentuan dan etika umum, dapat pula disebut korupsi. Sebagai contoh, korupsi terhadap waktu, saat begitu banyak pekerja yang santai atau bermain ketika jam kerja. Korupsi jabatan ketika ada orang yang memanfaatkan jabatannya untuk melakukan sesuatu di luar wewenang dan tanggung jawab jabatannya, dan sejumlah contoh lain.

Namun, pada akhirnya, secara umum korupsi lebih ditafsirkan sebagai "pengambilan uang" secara ilegal. Konsep ilegal dan legal memang perlu mendapat perhatian. Karena bisa saja korupsi itu justru dilakukan dalam "prosedur resmi". Artinya, yang sebagian besar terjadi adalah permainan angka-angka, tetapi hal tersebut dilakukan sesuai dengan prosedur resmi birokrasi, diketahui oleh pihak yang berwenang, dan sah. Dengan begitu, secara hukum korupsi yang dilakukan dalam "prosedur resmi" itu akan sulit dituntut. Tidak perlu ragu, hal ini tentu banyak dilakaukan oleh pejabat pemerintahan, baik di daerah apalagi di pusat.

Persoalannya, peluang apa saja yang memungkinkannya. Pertama, terjadinya lingkaran setan "keserakahan" sehingga berapapun uang dan kekayaan yang dimiliki, selalu merasa kurang sehingga begitu banyak orang mencari celah-celah tertentu untuk mendapatkan tambahan, atau bahkan nafsu menumpuk kekayaan. Dalam banyak hal, fenomana lingkaran setan "keserakahan" tersebut menjadi semacam sikap budaya tahu sama tahu, dan menciptakan saling ketergantungan. Karenanya, banyak orang menjadi maklum dengan perbuatan korupsi. Apalagi lingkaran setan itu membuat siapa saja terlibat di dalamnya.

Kedua,  sebagai akibat pertama, kekuatan kontrol, yang diharapkan sebagai ujung tombak bagi tegaknya hukum berkenaan dengan kasus korupsi tidak dapat diberlakukan. Mengapa? Pada akhirnya yang serba menentukan bukan kekuatan hukum itu sendiri, tetapi justru niat baik dan "keberanian" moral manusianya melawan korupsi (baca: kejahatan pada umumnya) terjamin.

Padahal itu hanya terjadi ketika adanya jaminan hukum antara hak dan kewajiban yang betul-betul dilaksanakan. Ketiga, sebagai mana dapat kita baca, kasus korupsi justru paling banyak terjadi di negara sedang berkembang. Apakah data tersebut ingin mengatakan bahwa di negara maju tidak terjadi korupsi, tentu saja tidak.  Persolannya bukan pada negara sedang berkembang atau tidak, tetapi negara yang kehidupan demokrasinya rendah. Penjelasan tersebut sekaligus ingin mengatakan bahwa tidak semua negara berkembang kasus korupsinya besar, dan demikian pula sebaliknya.

Seberapa jauh nilai-nilai dan penerapan demokrasi dapat mengontrol lajunya korupsi. Ini terutama berkaitan dengan persoalan kedua dan ketiga. Yaitu, salah satu indikasi kualitatif kehidupan demokrasi adalah adanya jaminan hukum bagi warga negara untuk berbuat benar, sesuai dengan keseimbangan antara hak dan kewajiban, jika itu dilakukan secara legal, sesuai dengan prosedur yang berlaku. Terlepas kaitannya dengan persoalan budaya, kenyataannya, hal inilah yang terutama membedakan dengan negara-negara yang kosus korupsinya kecil, katakanlah seperti Kanada, Denmark, Finlandia, Selandia Baru, dan beberapa negara (maju) lain.

* * *
Dari persoalan di atas, bagaimana hubungannya dengan terganggunya mekanisme dan dinamika perubahan sosial. Yang ingin ditegaskan oleh logika tersebut adalah ketika sebagian besar dana terakumulasi pada pihak-pihak tertentu secara pribadi dan tidak produktif. Karena, ada dua kemungkinan kemana perginya uang- uang korupsi tersebut. Pertama, jenis korupsi yang dilakukan karena desakan kebutuhan ekonomi yang menuntut, agar kehidupan ekonomi (seseorang beserta tanggungaannya) menjadi lebih longgar dalam batas-batas tertentu. Tetapi, korupsi jenis ini biasanya tidak besar-besaran, walaupun tentu saja tetap dilarang.

Kedua, jenis korupsi yang dilakukan bukan untuk sekadar melonggarkan kebutuhan ekonomis, tetapi diniatkan untuk penumpukan kekayaan secara pribadi. Dan ini biasanya dilakukan secara besar-besaran. Kemudian uang tersebut "tertimbun" di bank-bank, rumah-rumah pribadi, tanah-tanah pribadi, taman dan hutan pribadi, kenikmatan pribadi, dan lain-lain, yang kesemuanya terhenti hanya untuk kepentingan pribadi saja. Masyarakat tidak dapat memanfaatkannya.

Konsep penumpukan kekayaan tersebutlah yang secara langsung atau tidak ikut menghambat mekanisme dan progresi perubahan.  Hal tersebut terjadi karena sejumlah dana yang seharusnya dapat dimanfaatkan untuk proses pembangunan dan proyek-proyek sosial lainnya tidak dapat dipakai, tidak diputar, tidak termaksimalkan penggunaannya. Ia terhenti untuk keperluan pribadi-pribadi. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar