Senin, 23 April 2012

MENJINAKKAN BOM WAKTU



 Ibarat pembangunan yang selama ini kita lakukan seperti merakit bom-bom waktu, dan bom-bom waktu itu sebagian sudah meledak, sebagian belum. Yang sudah meledak antara lain ledakan pertengahan Mei 1998 yang legendaris itu, disusul ledakan-ledakan sesudahnya seperti Kupang, Ujung Pandang, beberapa daerah di Jawa, Kalbar, tragedi Ambon, Aceh, dan sebagainya. Saat ini, saya yakin masih tersisa sejumlah bom waktu yang sewaktu-waktu siap meledak atau diledakkan.

Apa saja bahan-bahan bom waktu itu sehingga kita dapat menyimpulkan rangkaian dan jaringan yang dirancang lebih dari 30 tahun tersebut demikian kuat dan sulit dijinakkan. Rangkaian tersebut antara lain, pertama, arogansi kekuasaan yang berlebihan yang dengan sukses membangun dirinya menjadi dominatif, dengan kerahasiaan terhadap rumus-rumus yang terjamin (karena tidak ada orang yang berani membocorkannya).

Sebagai akibatnya, rangkaian (sistem) kekuasaan yang dominan (bahan hegemonis) itu lambat laun berubah menjadi semacam kebudayaan. Kita tahu jika hal tersebut menjadi semacam kebudayaan, maka kebudayaan akan mengalami kesulitan tersendiri "mendekonstruksi" dirinya, walau diketahui ada yang tidak beres dengan konstruksi budaya kekuasaan tersebut. Itulah sebabnya, untuk menghancurkan rangkaian (budaya) kekuasaan seperti itu tidak mustahil dibutuhkan ledakan itu sendiri. Dalam hal ini mungkin bisa saja kita menyebutnya sebagai revolusi sosial.

Kedua, sebagai akibat dari pertama, jaringan bom waktu tersebut diperkuat tenaga ledakannya dengan adanya kandungan instalasi KKN. Tetapi saya ingin menegaskan bahwa sebetulnya ramuan dari bom waktu yang dibangun oleh pemerintah Orba adalah dengan mengaktifkan moral kemunafikkan. Kita tahu bahwa begitu banyak hal-hal yang tidak benar, tidak bermoral, kemudian kita disetel sedemikian rupa untuk tidak bisa berbuat apa-apa. Tetapi tentu saja itu sementara. Suatu ketika ia pasti meledak dengan sendirinya.

Ketiga, pencanggihan lain yang tidak kalah penting dari rakitan bom waktu itu adalah jaringan (baca: struktur) ekonomi yang menindas. Artinya, yang kuat menin das yang lemah. Yang kuat bertambah kuat, yang lemah bertambah lemah. Sebagai akibatnya, rakitan ini mengandung potensi ledakan yang luar biasa rawannya.

Keempat, rakitan bom waktu tersebut diperumit dengan tidak ditegakkannya hukum. Atau paling tidak hukum diperlakukan sesuai dengan tuntutan rumus-rumus rakitan bom waktu. Padahal, seharusnya, hukum diberlakukan sebagaimana ia seharusnya berlaku. Sebagai akibatnya, jika masalah ini "diaktifkan" terus menerus, maka potensi ledakannya akan menjadi luar biasa. 

Kelima, bom waktu ditempatkan dalam suatu wadah yaitu sistem pendidikan yang diatur sedemikian rupa dalam konstelasi kepentingan tersebut di atas. Tidak heran jika pendidikan kita tidak pernah mampu mengatasi berbagai problem yang dihadapi oleh bangsanya. Ada semacam ketakutan  yang disadari sehingga masalah mutu pendidikan pun sangat bergantung dengan situasi-situasi yang telah disebutkan, yang praktis mengontrolnya secara ketat. Apakah itu berkaitan dengan wacana keilmiahan, mutu dan sistem prestasi, pendanaan, sarana dan prasarana, dan sebagainya.

Keenam, bom waktu itu semakin diperkuat dengan jaringan-jaringan SARA yang palsu dan menipu demi kepentingan terpeliharanya kekuasaan mutlak. Masyarakat tidak diajarkan untuk berbeda, tetapi justru dipaksa untuk seolah-olah sama (satu). (Dan tentu ini merupakan kekerasan tersendiri). Kondisi ini justru membuat masyarakat tidak pernah dewasa dan, sekali lagi, sangat mengandung potensi ledakan yang hebat pula.

* * *
Kini, Pak Harto memang turun dari kekuasaannya. Akan tetapi, itu sama dengan mengaktifkan bom-bom waktu yang selama ini telah dirakitnya. Bahkan, jika kita melihat berbagai fenomena yang terjadi saat ini, tidak mustahil tombol pemicu ledakan itu ada di tangannya. Kalau toh tidak di tangannya, paling tidak secara umum masih ada di bawah kendalinya. Tidak perlu disebutkan apa dan siapakah mereka itu.

Karena yang lebih penting dari itu adalah bahwa kita sekarang sudah mengetahui ada beberapa bom waktu yang belum meledak, dan seketika-seketika siap me/diledakkan. Artinya, paling tidak ada dua tantangan sekaligus yang harus diatasi. Pertama, mengetahui di mana saja letak bom waktu itu terpasang atau dipasang. Kedua, jika hal tersebut sudah diketahui, bagaimana kita menjinakkan bom waktu itu.

Sejauh ini, memang tidak ada rumus (pola) yang pasti di mana saja ledakan- ledakan yang sudah terjadi sehingga dapat dijadikan acuan atau perkiraan di tempat mana lagi bom waktu itu terpasang dan setiap saat siap meledak. Kita hanya mengetahui bahwa berbagai ledakan tersebut terjadi pada tempat-tempat sebagai berikut.

(1) Di tempat tersebut ada perbedaan kehidupan ekonomi yang timpang sehingga menimbulkan kecemburuan yang mencekam. Itu artinya, tesis ini secara tidak langsung ingin menyebutkan bahwa hampir di semua tempat di Indonesia merupakan tempat potensial terpasangnya bom waktu.

Ada bias tertentu jika ketimpangan tersebut dimaksudkan ketidakadilan pembagian kue pusat-daerah, misalnya. Sebagai implikasinya, sebetulnya ledakan mengarah pada "pemerintah pusat", tetapi yang kena getahnya adalah mereka yang dianggap perpanjangan tangan atau representasi pemerintah. Atau bisa jadi kepada mereka yang selama rezim Orde Baru mendapat keuntungan oleh rezim tersebut.

(2) Wilayah identifikasi keberadaan bom waktu itu semakin diperkecil dengan mengetahui adakah aspirasi suatu masyarakat tertentu (bisa jadi berdasarkan suku, agama, ras), selama ini tidak diperhatikan. Jika selama ini agak disia-siakan, atau bahkan justru dipolitisir, maka dapat diperkirakan tempat tersebut potensial adanya bom waktu.

(3) Keberadaan bom waktu tersebut semakin bisa dipastikan jika ada indikasi- indikasi tertentu yang secara "fisik" mengarah ke arah terjadinya ledakan. Indikasi tersebut bisa disebut provokator, dalang-dalang gelap, dan sebagainya. Hal tersebut dapat diketahui berdasarkan gelagat-gelagat tertentu yang seharusnya dapat diketahui dengan segera jika sistem intelijen kita berjalan dengan baik. Tetapi, sebetulnya, seburuk apapun mekanisme dan sistem intelijen kita, bukan hal terlalu sulit untuk membaca indikasi ledakan, kecuali memang ada unsur kesengajaan. 

* * *
Sekarang, kita membayangkan telah mengetahui beberapa tempat "diidentifikasi" ada bom waktunya sehingga mau tidak mau perlu dijinakkan. Langkah spontan  yang biasanya dilakukan tentu saja segera memanggil para ahli penjinak bom untuk segera mengatasi hal tersebut.

Ada beberapa kesulitan. Pertama, sebagaimana biasanya menghadapi bom waktu kita menjadi tegang karena dikondisikan waktu aktif kapan bom waktu itu seketika-seketika meledak. Ketegangan ini terus terang membuat kita gusar, gugup, marah, tidak bisa konsentrasi, grusa-grusu, bahkan tidak mustahil saling menyalahkan antara satu dengan yang lain. Kondisi ini sungguh memakan waktu sehingga pada akhirnya bom itu meledak juga.

Kesulitan kedua, jangan-jangan kita memang tidak punya ahli yang mampu menjinakkan bom waktu tersebut. Kalau toh punya, para ahli kita hanya mengetahui salah satu jaringan dalam bom waktu tersebut. Misalnya, mengetahui jaringan ekonominya, tetapi tidak mengatahui komplikasi jaringan lain. Ada yang ahli "kabel- kabel" moral, tetap buta soal politik. Padahal, rakitan bom waktu yang canggih tersebut demikian kompleks sehingga dibutuhkan keahlian yang kompleks pula.

Hal demikian mungkin masih bisa diatasi jika ada upaya pensinergian berbagai keahlian dalam satu jaringan kerja yang terpadu untuk mengatasi komplikasi rakitan bom waktu. Repotnya, kita lebih terkondisi oleh kesulitan pertama yang telah disebutkan di atas. Memang, mau tidak mau dibutuhkan mereka yang berkepala dan bertangan dingin untuk mengatasi bom waktu yang sedang aktif, yang sewaktu-waktu siap meledak. Kalau kita tidak menemukan "sosok" itu, saya khawatir bom-bom waktu akan berledakan lagi. 

Namun begitu, seperti kita lihat dalam film-film action, yang namanya menjinakkan bom waktu itu bukan saja keahlian dan kecekatan yang dibutuhkan. Kadang- kadang dibutuhkan juga nasib baik. Kalau mujur, kita bisa sukses menjinakkannya. Kalau tidak, apa boleh buat. Siap-siap saja menghadapi ledakan berikutnya. Barangkali di tempat kita masing-masing. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar