Ibarat pembangunan yang selama ini
kita lakukan seperti merakit bom-bom waktu, dan bom-bom waktu itu sebagian
sudah meledak, sebagian belum. Yang sudah meledak antara lain ledakan
pertengahan Mei 1998 yang legendaris itu, disusul ledakan-ledakan sesudahnya
seperti Kupang, Ujung Pandang, beberapa daerah di Jawa, Kalbar, tragedi Ambon,
Aceh, dan sebagainya. Saat ini, saya yakin masih tersisa sejumlah bom waktu
yang sewaktu-waktu siap meledak atau diledakkan.
Apa saja bahan-bahan bom waktu itu
sehingga kita dapat menyimpulkan rangkaian dan jaringan yang dirancang lebih
dari 30 tahun tersebut demikian kuat dan sulit dijinakkan. Rangkaian tersebut
antara lain, pertama, arogansi kekuasaan yang berlebihan yang dengan sukses
membangun dirinya menjadi dominatif, dengan kerahasiaan terhadap rumus-rumus
yang terjamin (karena tidak ada orang yang berani membocorkannya).
Sebagai akibatnya, rangkaian
(sistem) kekuasaan yang dominan (bahan hegemonis) itu lambat laun berubah
menjadi semacam kebudayaan. Kita tahu jika hal tersebut menjadi semacam
kebudayaan, maka kebudayaan akan mengalami kesulitan tersendiri
"mendekonstruksi" dirinya, walau diketahui ada yang tidak beres
dengan konstruksi budaya kekuasaan tersebut. Itulah sebabnya, untuk
menghancurkan rangkaian (budaya) kekuasaan seperti itu tidak mustahil
dibutuhkan ledakan itu sendiri. Dalam hal ini mungkin bisa saja kita
menyebutnya sebagai revolusi sosial.
Kedua, sebagai akibat dari pertama,
jaringan bom waktu tersebut diperkuat tenaga ledakannya dengan adanya kandungan
instalasi KKN. Tetapi saya ingin menegaskan bahwa sebetulnya ramuan dari bom
waktu yang dibangun oleh pemerintah Orba adalah dengan mengaktifkan moral
kemunafikkan. Kita tahu bahwa begitu banyak hal-hal yang tidak benar, tidak
bermoral, kemudian kita disetel sedemikian rupa untuk tidak bisa berbuat
apa-apa. Tetapi tentu saja itu sementara. Suatu ketika ia pasti meledak dengan
sendirinya.
Ketiga, pencanggihan lain yang tidak
kalah penting dari rakitan bom waktu itu adalah jaringan (baca: struktur)
ekonomi yang menindas. Artinya, yang kuat menin das yang lemah. Yang kuat
bertambah kuat, yang lemah bertambah lemah. Sebagai akibatnya, rakitan ini
mengandung potensi ledakan yang luar biasa rawannya.
Keempat, rakitan bom waktu tersebut
diperumit dengan tidak ditegakkannya hukum. Atau paling tidak hukum
diperlakukan sesuai dengan tuntutan rumus-rumus rakitan bom waktu. Padahal,
seharusnya, hukum diberlakukan sebagaimana ia seharusnya berlaku. Sebagai
akibatnya, jika masalah ini "diaktifkan" terus menerus, maka potensi
ledakannya akan menjadi luar biasa.
Kelima, bom waktu ditempatkan dalam
suatu wadah yaitu sistem pendidikan yang diatur sedemikian rupa dalam
konstelasi kepentingan tersebut di atas. Tidak heran jika pendidikan kita tidak
pernah mampu mengatasi berbagai problem yang dihadapi oleh bangsanya. Ada
semacam ketakutan yang disadari sehingga
masalah mutu pendidikan pun sangat bergantung dengan situasi-situasi yang telah
disebutkan, yang praktis mengontrolnya secara ketat. Apakah itu berkaitan
dengan wacana keilmiahan, mutu dan sistem prestasi, pendanaan, sarana dan
prasarana, dan sebagainya.
Keenam, bom waktu itu semakin
diperkuat dengan jaringan-jaringan SARA yang palsu dan menipu demi kepentingan
terpeliharanya kekuasaan mutlak. Masyarakat tidak diajarkan untuk berbeda,
tetapi justru dipaksa untuk seolah-olah sama (satu). (Dan tentu ini merupakan
kekerasan tersendiri). Kondisi ini justru membuat masyarakat tidak pernah
dewasa dan, sekali lagi, sangat mengandung potensi ledakan yang hebat pula.
* * *
Kini, Pak Harto memang turun dari
kekuasaannya. Akan tetapi, itu sama dengan mengaktifkan bom-bom waktu yang
selama ini telah dirakitnya. Bahkan, jika kita melihat berbagai fenomena yang
terjadi saat ini, tidak mustahil tombol pemicu ledakan itu ada di tangannya.
Kalau toh tidak di tangannya, paling tidak secara umum masih ada di bawah
kendalinya. Tidak perlu disebutkan apa dan siapakah mereka itu.
Karena yang lebih penting dari itu
adalah bahwa kita sekarang sudah mengetahui ada beberapa bom waktu yang belum
meledak, dan seketika-seketika siap me/diledakkan. Artinya, paling tidak ada
dua tantangan sekaligus yang harus diatasi. Pertama, mengetahui di mana saja
letak bom waktu itu terpasang atau dipasang. Kedua, jika hal tersebut sudah
diketahui, bagaimana kita menjinakkan bom waktu itu.
Sejauh ini, memang tidak ada rumus
(pola) yang pasti di mana saja ledakan- ledakan yang sudah terjadi sehingga
dapat dijadikan acuan atau perkiraan di tempat mana lagi bom waktu itu
terpasang dan setiap saat siap meledak. Kita hanya mengetahui bahwa berbagai
ledakan tersebut terjadi pada tempat-tempat sebagai berikut.
(1) Di tempat tersebut ada perbedaan
kehidupan ekonomi yang timpang sehingga menimbulkan kecemburuan yang mencekam.
Itu artinya, tesis ini secara tidak langsung ingin menyebutkan bahwa hampir di
semua tempat di Indonesia merupakan tempat potensial terpasangnya bom waktu.
Ada bias tertentu jika ketimpangan
tersebut dimaksudkan ketidakadilan pembagian kue pusat-daerah, misalnya.
Sebagai implikasinya, sebetulnya ledakan mengarah pada "pemerintah
pusat", tetapi yang kena getahnya adalah mereka yang dianggap perpanjangan
tangan atau representasi pemerintah. Atau bisa jadi kepada mereka yang selama
rezim Orde Baru mendapat keuntungan oleh rezim tersebut.
(2) Wilayah identifikasi keberadaan
bom waktu itu semakin diperkecil dengan mengetahui adakah aspirasi suatu
masyarakat tertentu (bisa jadi berdasarkan suku, agama, ras), selama ini tidak
diperhatikan. Jika selama ini agak disia-siakan, atau bahkan justru
dipolitisir, maka dapat diperkirakan tempat tersebut potensial adanya bom
waktu.
(3) Keberadaan bom waktu tersebut
semakin bisa dipastikan jika ada indikasi- indikasi tertentu yang secara
"fisik" mengarah ke arah terjadinya ledakan. Indikasi tersebut bisa
disebut provokator, dalang-dalang gelap, dan sebagainya. Hal tersebut dapat
diketahui berdasarkan gelagat-gelagat tertentu yang seharusnya dapat diketahui
dengan segera jika sistem intelijen kita berjalan dengan baik. Tetapi,
sebetulnya, seburuk apapun mekanisme dan sistem intelijen kita, bukan hal
terlalu sulit untuk membaca indikasi ledakan, kecuali memang ada unsur
kesengajaan.
* * *
Sekarang, kita membayangkan telah
mengetahui beberapa tempat "diidentifikasi" ada bom waktunya sehingga
mau tidak mau perlu dijinakkan. Langkah spontan
yang biasanya dilakukan tentu saja segera memanggil para ahli penjinak
bom untuk segera mengatasi hal tersebut.
Ada beberapa kesulitan. Pertama,
sebagaimana biasanya menghadapi bom waktu kita menjadi tegang karena
dikondisikan waktu aktif kapan bom waktu itu seketika-seketika meledak.
Ketegangan ini terus terang membuat kita gusar, gugup, marah, tidak bisa
konsentrasi, grusa-grusu, bahkan tidak mustahil saling menyalahkan antara satu
dengan yang lain. Kondisi ini sungguh memakan waktu sehingga pada akhirnya bom
itu meledak juga.
Kesulitan kedua, jangan-jangan kita
memang tidak punya ahli yang mampu menjinakkan bom waktu tersebut. Kalau toh
punya, para ahli kita hanya mengetahui salah satu jaringan dalam bom waktu
tersebut. Misalnya, mengetahui jaringan ekonominya, tetapi tidak mengatahui
komplikasi jaringan lain. Ada yang ahli "kabel- kabel" moral, tetap
buta soal politik. Padahal, rakitan bom waktu yang canggih tersebut demikian
kompleks sehingga dibutuhkan keahlian yang kompleks pula.
Hal demikian mungkin masih bisa
diatasi jika ada upaya pensinergian berbagai keahlian dalam satu jaringan kerja
yang terpadu untuk mengatasi komplikasi rakitan bom waktu. Repotnya, kita lebih
terkondisi oleh kesulitan pertama yang telah disebutkan di atas. Memang, mau
tidak mau dibutuhkan mereka yang berkepala dan bertangan dingin untuk mengatasi
bom waktu yang sedang aktif, yang sewaktu-waktu siap meledak. Kalau kita tidak
menemukan "sosok" itu, saya khawatir bom-bom waktu akan berledakan
lagi.
Namun begitu, seperti kita lihat
dalam film-film action, yang namanya menjinakkan bom waktu itu bukan saja
keahlian dan kecekatan yang dibutuhkan. Kadang- kadang dibutuhkan juga nasib
baik. Kalau mujur, kita bisa sukses menjinakkannya. Kalau tidak, apa boleh
buat. Siap-siap saja menghadapi ledakan berikutnya. Barangkali di tempat kita
masing-masing. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar