Pemerintah siapa pun di Indonesia,
selalu ditantang untuk membuktikan janjinya menghapus kolusi, korupsi,
nepotisme, dsb. pada masa-masa yang akan datang. Di sini saya hanya menyinggung
persoalan kolusi, karena ia menjadi rangkaian utama dari terjadinya korupsi dan
nepotisme. Muncul beberapa persoalan. Pertama, apakah mungkin. Kedua, berkaitan
dengan mungkin atau tidak, seberapa jauh sesungguhnya kekolusian itu berdampak
bagi perubahan-perubahan (sosial) ke arah kemajuan seperti telah digaribawahi
oleh GBHN yakni terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.
Hal penting yang perlu dipersoalkan
adalah apakah kolusi tersebut merupakan prilaku spontan dan insidental atau
lebih merupakan suatu sikap kebudayaan. Upaya identifikasi ini sangat penting
dan mendasar karena berkaitan secara langsung dengan kemungkinan apakah kolusi
dan segala dampaknya itu dapat dihilangkan atau tidak. Pendek kata, jika kolusi
adalah kasus spontan dan insidental maka cara memahaminya akan berbeda jika
kolusi itu lebih sebagai manifestasi dari nilai-nilai dan sikap kebudayaan.
* * *
Pada dasarnya kolusi adalah
terjadinya aktivitas persengkongkolan, perkongkalingkongan, antara dua pihak
atau lebih berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan tertentu, dan biasanya
bersifat politis dan ekonomis. Wacana persekongkolan atau perkongkalingkonan
bagaimanapun bernada dasar negatif, sesuatu yang dianggap tidak baik, dilakukan
secara "sembunyi -sembunyi" dan "di bawah tangan". Lain
halnya jika dinamakan kerja sama, bisa berkonotasi netral, negatif, maupun
positif.
Persekongkolan terjadi antara dua
pihak atau lebih yang saling mengenal, terlebih-lebih ada unsur persaudaraan
dan kekeluargaan di dalamnya (nepotisme), juga antara atasan dan bawahan, yang
memiliki kesamaan-kesamaan tujuan dan ambisi, yang relatif saling tahu sama
tahu, dan pada umumnya merupakan kerja sama yang saling bergantung dan
menguntungkan.
Kegiatan kolusi bisa tanpa rencana,
tetapi dapat pula karena direncanakan sebelumnya, tergantung situasi yang
memungkinkan dan mengondisikannya. Yang tidak terencana, misalnya, ketika ada
pihak tertentu secara sengaja atau tidak mengetahui kejahatan pihak lain.
Kemudian, pihak yang melakukan kejahatan tersebut, agar kejahatannya tidak
menyebar, memberikan tawaran "kerja sama" kepada pihak yang
mengatahui. Kolusi terjadi atau tidak tergantung pihak yang mendapat tawaran
kerja sama.
Karena kolusi pada dasarnya kegiatan
"ilegal" yang menguntungkan, sangat sering tawaran tersebut diterima.
Kemudian, terjadilah kerja sama yang saling bergantung dan menguntungkan itu.
Kalau dikatakan ada perencanaannya, justru pada tindak korupsinya.
Tetapi tidak jarang pula justru
bentuk kolusi sangat terencana. Atau dalam bahasa yang lebih populer adanya
semacam rekayasa. Saya percaya bentuk rekayasa- rekayasa inilah yang secara
umum sesungguhnya terjadi, baik dari bentuk kolusi yang secara politis dan
ekonomis beruang gerak kecil (level rendah) hingga beruang gerak luas (level
tinggi). Sebagai contoh, katakanlah pemilihan ketua RT di satu sisi dan pemilihan
presiden di sisi lain.
Di sini memang secara sengaja hanya
disebutkan beruang gerak politis dan ekonomis. Juga tidak secara spesifik
menyebutkan mana yang lebih dominan dan sebagai motif bagi yang lain. Padahal,
tentu saja ada faktor lain yang juga saling mempengaruhi dan bergantung.
Bagaimanapun, kedua faktor tersebut dianggap cukup representatif bagi
kemungkinan-kemungkinan lain.
* * *
Ada beberapa faktor pendukung yang
menyebabkan bentuk kolusi terencana itu selalu terjadi. Pertama, bahwa pada
dasarnya motif-motif dengan tujuan tertentu tidak dapat direalisasikan begitu
saja tanpa kerja sama yang berarti dari berbagai pihak. Untuk mengatasi
struktur politik maupun ekonomi di Indonesia, agar dapat berdiri di atas
(menguasasi), bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dikerjakan seorang diri.
Dibutuhkan kerja sama yang terkonvergensi, semacam konglomerasi (pemusatan),
agar tujuan tersebut dapat terfokus dan menggumpal. Itulah sebabnya, tidak
jarang banyak orang justru memanfaatkan peluang- peluang "budaya"
untuk tujuan-tujuan itu. Misalnya, budaya harmoni yang menghindari konflik,
sikap tidak berani berkata terus terang, pakewuh yang tidak pada tempatnya,
maupun sikap-sikap tidak kritis lainnya.
Kedua, struktur birokrasi sosial
kemasyarakatan yang relatif tertutup, sehingga memberi peluang bagi masyarakat
yang berkepentingan, untuk melakukan pembicaraan tersembunyi pada setiap
levelnya secara aman. Hal tersebut sesungguhnya terjadi lebih karena adanya
unsur "feodalisme", sehingga proses struktur birokrasinya mengalami
perpanjangan yang tidak efektif dan efisien. Ketidakefektifan dan
ketidakefisienan tersebutlah yang secara langsung memberi peluang bagi
permainan-permainan tidak resmi dan terselubung, seperti secara umum kita
menyebutnya kolusi.
Mengingat kebiasaan itu merupakan
suatu pola prilaku yang terjadi secara sistemik dan berkelanjutan, maka tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa kolusi merupakan suatu pola umum yang
membudaya. Jika ia menjadi suatu sikap budaya, maka kebudayaan mengalami kesulitan
tertentu untuk membongkar dirinya bertransformasi ke satu sikap budaya lain
yang berbeda. Apalagi jika kemungkinan transformasi tersebut tidak atau belum
menjanjikan keuntungan apapun. Inilah yang biasa disebut bahwa kebudayaan
mengatasi aspek struktural (mekanisme rasional).
* * *
Kesadaran tentang adanya
ketidakberesan terhadap budaya kolusi tersebut terjadi ketika wacana yang
dipakai dalam melihat persoalan berdiri di luar kondisi wacana budaya yang
dimaksud. Itulah sebabnya, dalam hal ini tinjauan yang objektif dan ilmiah,
yang berkaitan dengan seberapa jauh dampak budaya yang merugikan cita-cita
nasional demi pencapaian masyarakat adil dan makmur, mendesak untuk dibuktikan
lebih jauh.
Paling tidak ada dua dampak.
Pertama, sederhananya bila ditempatkan dalam kepentingan ekonomis. Maka secara
langsung budaya kolusi ikut menjaga dan menimbulkan korupsi, manipulasi, dan
segala bentuk pengambilan uang negara (masyarakat) untuk keperluan yang
sifatnya pribadi. Bisa pula dalam pengertian yang lebih luas, seperti korupsi
waktu. Dalam hal ini budaya kolusi secara langsung ikut memelihara sikap tahu
sama tahu, saling pengertian, atas berbagai "kejahatan" yang sedang
dan akan terjadi.
Dengan sikap itu, begitu banyak
kejahatan (ekonomi) yang tidak terbongkar. Kalau toh terdeteksi oleh sistem dan
mekenisme yang dimungkinkannya, untuk proses lebih lanjut sering pula
diselesaikan secara kolutif. Akibat pengunaan dana yang untuk keperluan pribadi
itu, maka paling tidak maksimalisasi penggunaan dana untuk keperluan
pembangunan nasional menjadi tergganggu atau tidak maksimal. Itu artinya, ikut
memperlambat kemajuan nasinal dalam meraih masyarakat adil dan makmur.
Kedua, dalam kepentingan politis
(sosial), budaya kolusi ikut melestarikan hal- hal yang bekaitan dengan
penyalahgunaan jabatan, kepentingan-kepentingan politik pribadi yang
mengatasnamakan kepentingan rakyat, dan sebagainya. Tetapi, karena terlanjur
dalam telikungan kolutif, maka banyak orang menjadi tidak memiliki keberanian
untuk mempersoalkannya. Bukan saja pada sisi tertentu kita tahu sama tahu bahwa
tidak ada jalur "hukum" yang jelas untuk mempersoalkan hal tersebut,
tetapi seperti domino principle, jangan-jangan kita pun ikut kena getah dari
berbagai kasus-kasus tidak sehat itu.
Sebagai contoh yang berkaitan dengan
penyalahgunaan jabatan. Dalam dunia demokratis dan kompetitif, seharusnya
seseorang mendapatkan peluang politis dan sosialnya, sesuai dengan prestasi
yang dihasilkannya. Tetapi karena adanya
faktor kolutif, maka begitu banyak orang bekerja tidak sesuai dengan
keahliannya, prestasi yang dimungkinkannya, dan sebagainya.
Akibatnya, begitu banyak persoalan
yang berkaitan dengan bagaimana mencapai masyarakat yang sehat, berkualitas,
bersaing secara sportif, sebagai indikator penting masyarakat adil dan makmur,
tidak ditangani oleh manusia-manusia (SDM) yang berkualitas, yang berprestasi,
dan proporsional sesuai dengan SDM yang selayaknya pula. Harap makmum, jika
prosesi menuju masyarakat adil dan makmur pada tingkat tertentu hingga hari ini
masih sebuah mimpi. * * *
Tidak ada komentar:
Posting Komentar