Senin, 23 April 2012

BERSAMA KOLUSI MENUJU MASYARAKAT ADIL DAN MAKMUR




Pemerintah siapa pun di Indonesia, selalu ditantang untuk membuktikan janjinya menghapus kolusi, korupsi, nepotisme, dsb. pada masa-masa yang akan datang. Di sini saya hanya menyinggung persoalan kolusi, karena ia menjadi rangkaian utama dari terjadinya korupsi dan nepotisme. Muncul beberapa persoalan. Pertama, apakah mungkin. Kedua, berkaitan dengan mungkin atau tidak, seberapa jauh sesungguhnya kekolusian itu berdampak bagi perubahan-perubahan (sosial) ke arah kemajuan seperti telah digaribawahi oleh GBHN yakni terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Hal penting yang perlu dipersoalkan adalah apakah kolusi tersebut merupakan prilaku spontan dan insidental atau lebih merupakan suatu sikap kebudayaan. Upaya identifikasi ini sangat penting dan mendasar karena berkaitan secara langsung dengan kemungkinan apakah kolusi dan segala dampaknya itu dapat dihilangkan atau tidak. Pendek kata, jika kolusi adalah kasus spontan dan insidental maka cara memahaminya akan berbeda jika kolusi itu lebih sebagai manifestasi dari nilai-nilai dan sikap kebudayaan.

* * *
Pada dasarnya kolusi adalah terjadinya aktivitas persengkongkolan, perkongkalingkongan, antara dua pihak atau lebih berkaitan dengan pencapaian tujuan-tujuan tertentu, dan biasanya bersifat politis dan ekonomis. Wacana persekongkolan atau perkongkalingkonan bagaimanapun bernada dasar negatif, sesuatu yang dianggap tidak baik, dilakukan secara "sembunyi -sembunyi" dan "di bawah tangan". Lain halnya jika dinamakan kerja sama, bisa berkonotasi netral, negatif, maupun positif.

Persekongkolan terjadi antara dua pihak atau lebih yang saling mengenal, terlebih-lebih ada unsur persaudaraan dan kekeluargaan di dalamnya (nepotisme), juga antara atasan dan bawahan, yang memiliki kesamaan-kesamaan tujuan dan ambisi, yang relatif saling tahu sama tahu, dan pada umumnya merupakan kerja sama yang saling bergantung dan menguntungkan.

Kegiatan kolusi bisa tanpa rencana, tetapi dapat pula karena direncanakan sebelumnya, tergantung situasi yang memungkinkan dan mengondisikannya. Yang tidak terencana, misalnya, ketika ada pihak tertentu secara sengaja atau tidak mengetahui kejahatan pihak lain. Kemudian, pihak yang melakukan kejahatan tersebut, agar kejahatannya tidak menyebar, memberikan tawaran "kerja sama" kepada pihak yang mengatahui. Kolusi terjadi atau tidak tergantung pihak yang mendapat tawaran kerja sama.

Karena kolusi pada dasarnya kegiatan "ilegal" yang menguntungkan, sangat sering tawaran tersebut diterima. Kemudian, terjadilah kerja sama yang saling bergantung dan menguntungkan itu. Kalau dikatakan ada perencanaannya, justru pada tindak korupsinya.

Tetapi tidak jarang pula justru bentuk kolusi sangat terencana. Atau dalam bahasa yang lebih populer adanya semacam rekayasa. Saya percaya bentuk rekayasa- rekayasa inilah yang secara umum sesungguhnya terjadi, baik dari bentuk kolusi yang secara politis dan ekonomis beruang gerak kecil (level rendah) hingga beruang gerak luas (level tinggi). Sebagai contoh, katakanlah pemilihan ketua RT di satu sisi dan pemilihan presiden di sisi lain.

Di sini memang secara sengaja hanya disebutkan beruang gerak politis dan ekonomis. Juga tidak secara spesifik menyebutkan mana yang lebih dominan dan sebagai motif bagi yang lain. Padahal, tentu saja ada faktor lain yang juga saling mempengaruhi dan bergantung. Bagaimanapun, kedua faktor tersebut dianggap cukup representatif bagi kemungkinan-kemungkinan lain.

* * *
Ada beberapa faktor pendukung yang menyebabkan bentuk kolusi terencana itu selalu terjadi. Pertama, bahwa pada dasarnya motif-motif dengan tujuan tertentu tidak dapat direalisasikan begitu saja tanpa kerja sama yang berarti dari berbagai pihak. Untuk mengatasi struktur politik maupun ekonomi di Indonesia, agar dapat berdiri di atas (menguasasi), bukanlah pekerjaan mudah yang dapat dikerjakan seorang diri. Dibutuhkan kerja sama yang terkonvergensi, semacam konglomerasi (pemusatan), agar tujuan tersebut dapat terfokus dan menggumpal. Itulah sebabnya, tidak jarang banyak orang justru memanfaatkan peluang- peluang "budaya" untuk tujuan-tujuan itu. Misalnya, budaya harmoni yang menghindari konflik, sikap tidak berani berkata terus terang, pakewuh yang tidak pada tempatnya, maupun sikap-sikap tidak kritis lainnya.

Kedua, struktur birokrasi sosial kemasyarakatan yang relatif tertutup, sehingga memberi peluang bagi masyarakat yang berkepentingan, untuk melakukan pembicaraan tersembunyi pada setiap levelnya secara aman. Hal tersebut sesungguhnya terjadi lebih karena adanya unsur "feodalisme", sehingga proses struktur birokrasinya mengalami perpanjangan yang tidak efektif dan efisien. Ketidakefektifan dan ketidakefisienan tersebutlah yang secara langsung memberi peluang bagi permainan-permainan tidak resmi dan terselubung, seperti secara umum kita menyebutnya kolusi.

Mengingat kebiasaan itu merupakan suatu pola prilaku yang terjadi secara sistemik dan berkelanjutan, maka tidak berlebihan jika dikatakan bahwa kolusi merupakan suatu pola umum yang membudaya. Jika ia menjadi suatu sikap budaya, maka kebudayaan mengalami kesulitan tertentu untuk membongkar dirinya bertransformasi ke satu sikap budaya lain yang berbeda. Apalagi jika kemungkinan transformasi tersebut tidak atau belum menjanjikan keuntungan apapun. Inilah yang biasa disebut bahwa kebudayaan mengatasi aspek struktural (mekanisme rasional).

* * *
Kesadaran tentang adanya ketidakberesan terhadap budaya kolusi tersebut terjadi ketika wacana yang dipakai dalam melihat persoalan berdiri di luar kondisi wacana budaya yang dimaksud. Itulah sebabnya, dalam hal ini tinjauan yang objektif dan ilmiah, yang berkaitan dengan seberapa jauh dampak budaya yang merugikan cita-cita nasional demi pencapaian masyarakat adil dan makmur, mendesak untuk dibuktikan lebih jauh.

Paling tidak ada dua dampak. Pertama, sederhananya bila ditempatkan dalam kepentingan ekonomis. Maka secara langsung budaya kolusi ikut menjaga dan menimbulkan korupsi, manipulasi, dan segala bentuk pengambilan uang negara (masyarakat) untuk keperluan yang sifatnya pribadi. Bisa pula dalam pengertian yang lebih luas, seperti korupsi waktu. Dalam hal ini budaya kolusi secara langsung ikut memelihara sikap tahu sama tahu, saling pengertian, atas berbagai "kejahatan" yang sedang dan akan terjadi.

Dengan sikap itu, begitu banyak kejahatan (ekonomi) yang tidak terbongkar. Kalau toh terdeteksi oleh sistem dan mekenisme yang dimungkinkannya, untuk proses lebih lanjut sering pula diselesaikan secara kolutif. Akibat pengunaan dana yang untuk keperluan pribadi itu, maka paling tidak maksimalisasi penggunaan dana untuk keperluan pembangunan nasional menjadi tergganggu atau tidak maksimal. Itu artinya, ikut memperlambat kemajuan nasinal dalam meraih masyarakat adil dan makmur.

Kedua, dalam kepentingan politis (sosial), budaya kolusi ikut melestarikan hal- hal yang bekaitan dengan penyalahgunaan jabatan, kepentingan-kepentingan politik pribadi yang mengatasnamakan kepentingan rakyat, dan sebagainya. Tetapi, karena terlanjur dalam telikungan kolutif, maka banyak orang menjadi tidak memiliki keberanian untuk mempersoalkannya. Bukan saja pada sisi tertentu kita tahu sama tahu bahwa tidak ada jalur "hukum" yang jelas untuk mempersoalkan hal tersebut, tetapi seperti domino principle, jangan-jangan kita pun ikut kena getah dari berbagai kasus-kasus tidak sehat itu.

Sebagai contoh yang berkaitan dengan penyalahgunaan jabatan. Dalam dunia demokratis dan kompetitif, seharusnya seseorang mendapatkan peluang politis dan sosialnya, sesuai dengan prestasi yang dihasilkannya. Tetapi karena adanya  faktor kolutif, maka begitu banyak orang bekerja tidak sesuai dengan keahliannya, prestasi yang dimungkinkannya, dan sebagainya.

Akibatnya, begitu banyak persoalan yang berkaitan dengan bagaimana mencapai masyarakat yang sehat, berkualitas, bersaing secara sportif, sebagai indikator penting masyarakat adil dan makmur, tidak ditangani oleh manusia-manusia (SDM) yang berkualitas, yang berprestasi, dan proporsional sesuai dengan SDM yang selayaknya pula. Harap makmum, jika prosesi menuju masyarakat adil dan makmur pada tingkat tertentu hingga hari ini masih sebuah mimpi. * * *

Tidak ada komentar:

Posting Komentar