Senin, 23 April 2012

MENGURAI BENANG KUSUT


Sudah lebih setengah abad Indonesia merdeka. Paling tidak sudah lima dasa warsa lebih Indonesia seharusnya memiliki kamandirian untuk membangun masyarakat dan negaranya menjadi lebih baik. Namun, seperti kita ketahui bersama, saat ini kita berada dalam kondisi miskin dan pemiskinan, dalam situasi "bunuh diri" terus menerus. Proses penghancuran terhadap hal-hal yang pernah kita miliki.

Sebagai perbandingan, misalnya, negara Jerman pada tahun 1945, akibat Perang Dunia II, nyaris hancur lebur. Dari 2200 sekolah yang dimiliki negara tersebut, hanya 212 sekolah yang masih bisa dipakai menyekolahkan anak-anak mudanya. Kita tahu, saat ini negara Jerman merupakan salah satu negara yang maju di Eropa, bahkan dunia.

Jepang sebagai contoh lain. Negara tersebut pada tahun 1945 hancur berkeping-keping. Hampir sepertiga negaranya berantakan. Dan jangan lupa, secara geografis negara Jepang juga bukan negara yang "apa-apa punya". Negara Matahari itu adalah negara yang tanahnya tidak terlalu berbaik hati untuk memberikan sumbangan kekayaan. Tapi dunia tahu, sekarang Jepang merupakan negara yang Amerika pun sangat iri atas kemajuan dan kesuksesan yang ditempuh oleh masyarakat Jepang.

* * *
Belajar dari kenyataan itu, tentu ada sesuatu yang salah dengan "sejarah pembangunan" Indonesia. Dengan peluang yang tidak lebih buruk, dengan kondisi kekayaan alam yang berlimpah, dengan jumlah penduduk ratusan juta, letak geografis yang sangat strategis, seharusnya, paling tidak, Indonesia bukan malah menjadi salah satu negara paling miskin dan terbrengsek di dunia.

Kondisi itu, kita sama-sama tahu, adalah sebagai berikut. Pertama, rendahnya pendapatan perkapita masyarakat Indonesia yang hanya berkisar 400 dolar Amerika per tahun, jika rupiah hanya berharga Rp8.000,- apalagi jika lebih rendah dari itu. Ditambah dengan kenyataan lain. Pada pertengahan tahun 1998, jumlah pengangguran di Indonesia sudah mencapai 15,3 juta orang. Bahkan, pasca kerusuhan dan tekanan krisis ekonomi dan politik yang semakin memburuk, angka pengangguran pada akhir Mei 1998 sudah menembus angka 21 juta orang.

Hal yang juga mengenaskan adalah ada 10 juta anak usia sekolah di Indonesia pada tahun 1998 tidak dapat melanjutkan sekolahnya. Dari catatan tersebut dapat diperhitungkan pendidikan dan kualitas SDM masyarakat Indonesia pada 20 hingga 30 tahun mendatang diramalkan mengalami penurunan yang signifikan. Orang Indonesia, demikian laporan UNICEF, akan mengalami inferioritas memasuki abad 21.

Pada pertengahan tahun 1997, orang miskin di Indonesia, menurut Biro Pusat Statistik (BPS), tidak lebih dari 13 juta orang. Jumlah tersebut sempat merosot dibanding tahun sebelumnya yang masih berjumlah sekitar 25 juta orang. Angka tersebut sesungguhnya menggambarkan kesuksesan semu pemerintahan Orde Baru dalam mengentaskan kemiskinan di Indonesia yakni apa yang biasa disebut dengan  program pengentasan kemiskinan. Bentuk Program pengentasan kemiskinan tersebut dilaksanakan dengan diadakannya proyek-proyek IDT (Inpres Desa Tertinggal).

Akan tetapi, pada awal bulan Juli 1998, BPS mencatat bahwa orang miskin (baru) pada akhir Mei 1998 tercatat sebanyak 79,4 juta orang. Bahkan pada akhir tahun 1998, jika hal tersebut tidak tertanggulangi, maka jumlah orang miskin di Indonesia menjadi sebesar 95,8 hingga 100 juta orang lebih. Ukuran kemiskinan yang dipakai BPS cukup jelas yaitu bagi mereka yang konsumsi makannya per hari di bawah 2100 kalori. Artinya, dari segi pemenuhan kebutuhan manusia yang hidup secara wajar, konsumsi di bawah 2100 kalori dianggap miskin terlepas dari berbagai kondisi dan situasi yang berbeda.

Karena kekurangan gizi itu, itulah sebabnya, pada masa yang akan datang ada kemungkinan peluang (masyarakat) Indonesia untuk menggapai kemajuan justru mundur ke belakang. Karena, secara fisik saja misalnya tinggi badan sebagian masyarakat Indonesia akan turun 2-3 cm. Di samping itu, IQ masyarakat Indonesia juga akan mengalami penurunan sebanyak 5 angka. (Artinya, secara umum masyarakat Indonesia bertambah bodoh). Dan ini tentu saja berimplikasi sangat serius ketika masyarakat Indonesia, mau tidak mau, harus bersaing secara kompetitif dan terbuka dengan masyarakat dunia, masyarakat global.

Tegasnya, alangkah banyaknya orang Indonesia kehilangan harapan terhadap perbaikan kehidupan dan masa depannya. Mimpi dan harapan-harapan masa depan masyarakat Indonesia hancur berantakan. Masyarakat Indonesia yang de jure telah merdeka lebih dari setengah abad, ternyata tidak mendapatkan kemajuan yang berarti. Negara yang merdeka tersebut dikelola dengan cara yang salah sehingga menjerumuskan bangsa dan negaranya ke jurang kehancuran.

* * *
Masalah-masalah tersebut di atas tentu saja tidak bisa diatasi dengan mudah. Untuk mengatasi persoalan tersebut membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan dalam sebuah siarannya pada Januari 1999 sebuah stasiun swasta memberi informasi bahwa perbaikan yang sedang dihadapi Indonesia membutuhkan waktu lebih dari 35 tahun. Itu artinya hampir 2 generasi. Jika satu generasi diandaikan antara 15 hingga 20 tahun.

Mengapa membutuhkan waktu demikian lama, karena kondisi internal kita memang demikian buruk. Saya ingin menyebutkan bahwa kondisi internal itu seperti merajut benang-benang pembangunan yang salah urus atau bahkan direkayasa sedemikian rupa sehingga menjadi demikian kusutnya.

Kalau yang terjadi adalah merajut benang pembangunan, tetapi secara tidak sengaja tidak tahu cara merajut yang benar sehingga yang terjadi adalah kekusutan, maka mungkin sedikit bisa dimakalumi. Tetapi jika kekusutan tersebut disengaja justru untuk melanggungkan kekuasaan, hal tersebut adalah sebuah kejahatan politik. Kita percaya yang terjadi adalah hal yang kedua ini. Dan tuga kita sekarang adalah mengurai benang kusut itu, untuk kemudian bersama-sama kembali membangun, meminjam istilah yang baru-baru ini disebut B. Anderson, demi sebuah "proyek bersama". (Dalam ceramahnya di Graha Saba Pramana UGM, 1998).

Hal-hal apa saja yang membuat kekusutan itu. Pertama, arogansi kekuasaan yang yang dijalin sedemikian rupa sehingga dengan sukses membangun dirinya menjadi hegemonik. Sebagai akibatnya, jalinan-jalinan kekusutan itu lambat laun berubah menjadi semacam kebudayaan. Kita tahu jika hal tersebut menjadi semacam kebudayaan, maka kebudayaan akan mengalami kesulitan tersendiri mengurai dirin ya, walau diketahui ada yang tidak beres dengan uraian budaya kekuasaan tersebut.

Kedua, kekusutan lain yang tidak kalah membingungkannya adalah adanya jaringan (baca: struktur) ekonomi yang menindas. Maksudnya, yang kuat menindas yang lemah. Yang kuat bertambah kuat, yang lemah bertambah lemah. Sebagai akibatnya, sekali lagi, anyaman yang kacau itu membuat masyarakat terperangkap dalam satu jalinan buntu, tidak tahu harus berbuat apa. Atau kalau toh tahu, tidak berdaya bagaimana agar bisa keluar dari kekusutan ekonomis tersebut.

Ketiga, sebagai akibat dari pertama, jalinan kekusutan itu diperkusut dengan adanya simpul-simpul mati KKN. Tetapi saya ingin menegaskan bahwa sebetulnya simpul-simpul KKN yang dirancang oleh pemerintah Orba adalah dengan membiarkan benang-benang kemunafikkan. Kita tahu bahwa begitu banyak hal-hal yang tidak benar, tidak bermoral, kemudian kita terperangkap sedemikian rupa dalam kekusutan itu sendiri. Artinya, jujur saja, kita sendiri tidak jarang merupakan bagian dari kekusutan itu.

Keempat, kekusutan itu diperparah oleh benang-benang hukum yang tidak ditegakkan sebagai mana mestinya. Atau paling tidak hukum diperlakukan sebagaimana ia diatur dalam wacana yang telah disebutkan di atas. Padahal, seharusnya, hukum diberlakukan sebagaimana ia seharusnya berlaku. Sebagai akibatnya, ketika masalah ini dibiarkan terus menerus, maka dia menggumpal menjadi sebuah labirin besar.

Kelima, kekusutan itu diperparah oleh sistem pendidikan yang "diatur" sedemikian rupa dalam benang-benang kepentingan kekuasaan yang menyimpulkan dirinya secara salah, sebagai sumber dari kekusutan yang sedang kita bicarakan ini. Tidak heran jika pendidikan kita tidak pernah mampu mengatasi berbagai problem yang dihadapi oleh bangsanya. Ada semacam ketakutan  yang disadari sehingga masalah mutu pendidikan pun sangat bergantung dengan situasi-situasi yang telah disebutkan, yang praktis mengontrolnya secara ketat. Apakah itu berkaitan dengan wacana keilmiahan, mutu dan sistem prestasi, pendanaan, sarana dan prasarana, dan sebagainya.

Keenam, kekusutan itu semakin diperumit dengan jaringan benang SARA yang palsu dan menipu demi kepentingan terpeliharanya kekuasaan mutlak. Masyarakat tidak diajarkan untuk berbeda, tetapi justru dipaksa untuk seolah-olah sama (satu). Kondisi ini justru membuat masyarakat memiliki pengetahuan yang palsu pula apakah ia berada di luar atau di dalam kekusutan.
* * *
Sudah bukan rahasia, tentu ada yang salah dalam mengelola Indonesia pada masa-masa sebelumnya. Itulah sebabnya, sepantasnya kita geram (dan bahkan marah) terhadap berbagai kejadian yang menimpa sebagai akibat pemerintahan Orde Baru seolah membawa kita dalam satu kekusutan-kekusutan dan saat ini kita terperangkap di dalamnya.

Memang, disadari bahwa terjadinya berbagai kekusutan itu tidak sepenuhnya merupakan problem internal Indonesia. Sebegitu jauh ada faktor-faktor eksternal yang ikut mempengaruhi sehingga kejadian pahit yang terjadi sekarang ini tidak dapat dihindari. Faktor-faktor eksternal itu antara lain.

Pertama, faktor yang bersifat makro (eksternal). Hal yang signifikan adalah perangkap tata hubungan internasional yang timpang. Dalam arti, sebagaimana diketahui, negara-negara kuat yang dominan, sebegitu jauh telah menskenario dan mendikte negara-negara sedang berkembang agar terus menerus dalam posisi ketergantungan dalam pengertiannya yang luas. Ketergantungan itu bisa dalam pengertian  ekonomi, politik, iptek, sosial budaya, dan seterusnya.

Ini tampak misalnya bahwa struktur dan wacana kapitalisme, yang menjadi ciri dari rezim Amerika misalnya, hampir mewarnai seluruh kinerja masyarakat dunia. Apakah itu dalam bentuk kehidupan ekonomi, pemanfaatan teknologi tinggi yang efektif dan efisien, gaya politik, serta berbagai gaya hidup sosial budaya lainnya.

Amerika sebagai negara adidaya tentu saja tidak mau melepaskan posisinya sebagai negara adidaya dan polisi dunia dengan mengalihkan "secara mudah" kemampuan-kemampuan yang mereka miliki (berkat kerja keras dan sistem yang kondusif). Sebaliknya, perkembangan kemampuan negara-negara lain yang memiliki kapasitas untuk berkembang selalu ditekan dengan kekuatan yang mereka miliki.

Penekanan tersebut bisa dengan mengekspor barang jadi secara terus menerus. Masyarakat Indonesia misalnya, terlanjur menjadi konsumen dan penikmat pasif dari produk-produk jadi buatan luar negeri (negara maju) sehingga terlanjur tidak dikondisikan untuk berpikir apakah barang-barang jadi tersebut bisa diproduksi sendiri di dalam negeri.

Kemungkinan lain adalah dengan menghancurkan secara nyata kekuatan penyeimbang yang secara langsung dianggap berbahaya bagi posisi tanpa tandingnya. Itu kelihatan bagaimana negara Amerika menghadapi Irak, beberapa negara di Timur Tengah dan Amerika Latin lainnya, serta kerja-kerja intelijen yang terselubung dan sangat rahasia untuk  penggagalan semua kegiatan di luar negaranya yang dianggap berbahaya bagi kedudukan dominannya.

Kedua, karena faktor pertama yang cukup dominan, maka akibat lebih jauh negara berkembang seperti Indonesia, tidak memiliki kekuatan apapun yang mampu dijadikan "kartu" untuk merumuskan dan merealisasikan kemampuan-kemampuan yang dimiliki dalam menentukan nasibnya sendiri. Parahnya, skenario dalam posisi ketergantungan membuat kinerja masyarakat selalu dalam keadaan pas-pasan, untuk tidak mengatakan bahwa sebetulnya dalam banyak hal kita hidup dalam kondisi yang serba terbatas.

Tegasnya, bukan saja dalam skala luas rakyat Indonesia dikondisikan dalam kekusutan yang melibatkan tata hubungan internasional, tetapi secara internal kita juga terjerumus dalam kukusutan-kekusutan dari dalam negeri sendiri, kekusutan kehidupan berbangsa dan bernegara.

* * *
Dengan demikian, sungguh malang nasib bangsa dan masyarakat Indonesia. Karena paling tidak ada dua pekerjaan besar yang harus dihadapi, baik sekarang maupun pada masa-masa yang akan datang. Padahal, adalah kenyataan bahwa tantangan tersebut harus dihadapi dalam kondisi yang buruk dan lemah dalam berbagai dimensinya.

Pertanyaan berikutnya seberapa jauh bangsa dan masyarakat Indonesia memiliki peluang untuk keluar dalam kekusutan tersebut. Pertanyaan tersebut memang sangat mencemaskan dan menakutkan. Namun begitu, tidak ada salahnya saya menguraikan beberapa ilustrasi dan analisis berikut.

Jawaban dari persoalan tersebut dengan mempersoalkan lebih dahulu mana yang lebih mendesak untuk "diatasi", problem yang bersifat eksternal atau internal. Jawaban bisa beragam, tergantung perspektif dan paradigma apa yang dipakai. Anggaplah ada suatu upaya internal dalam rangka mengurai kekusutan dalam negeri, tetapi apakah hal tersebut bisa berjalan sesuai dengan harapan jika kekusutan eksternal sama sekali tidak berubah.

Demikian pula sebaliknya, diandaikan ada upaya-upaya internasional untuk menata kembali kekusutan eksternal (internasional). Akan tetapi, hal tersebut juga menjadi tidak mungkin jika kekusutan internal sama sekali tidak menuju pada suatu peroses penguraian yang jernih, konseptual, dan gamblang.

Jawaban yang diharapkan tentu saja melakukan penguraian kekusutan tersebut secara sekaligus. Namun, seperti juga telah disinggung, hal tersebut tampaknya akan mengalami banyak kendala terutama ketika negara dominan seperti Amerika tidak berniat untuk merubah tata hubungan internasional yang terlanjur menguntungkan negaranya. Apalagi, bisa jadi kekusutan itu hanya dirasakan oleh negara seperti Indonesia, atau beberapa negara lain yang dirugikan oleh tata hubungan internasional yang tidak adil tersebut.

Jika perkiraan tersebut tidak terlalu meleset maka tidak ada satu kekuatan pun yang mampu merubah kakusutan tata hubungan internasional kecuali niat baik dari negara-negara super power. Barangkali yang bisa dikerjakan oleh negara-negara yang bergantung pada negara-negara kuat tersebut tidak lain adalah imbauan-imbauan moral agar negara kuat sedikti banyak bersedia untuk sharing atas banyak hal yang diperlukan demi terjaganya tata hubungan internasional yang adil, berkeseimbangan, saling mengutungkan, dan fair.

Akan tetapi, imbauan moral tersebut akan tidak berdaya guna jika tidak ada satu alasan pun yang membuat negara-negara maju dan kaya tertarik untuk melakukan suatu perubahan kebijakan jika negara-negara yang berteriak tersebut kacau, kusut, tidak aman, HAM diabaikan, hukum tidak ditegakkan, dan sebagainya.

* * *
 Itulah sebabnya, menilik persoalan itu tampaknya perjuangan dalam negeri  (sendiri) untuk mengatasi berbagai kekusutan lebih mendapatkan alasan yang signifikan dan mendesak. Muncul pertanyaan dari mana pekerjaan tersebut bisa dimulai.

Seperti telah diraikan pada tulisan terdahulu, paling tidak kita telah mengidentifikasi letak dan faktor-faktor yang menyebabkan kekusutan (internal) tersebut. Jawaban yang mungkin, sebagai ilustrasi, adalah dengan "mengurutkan" kembali satu persatu benang-benang yang terlibat dalam jalinan yang semrawut tersebut. Memang, dibutuhkan kehati-hatian agar dalam mengurutkan benang-benang tersebut tidak salah tarik sehingga justru menjadi tambah mbulet.

Dalam mengurutkan benang-benang yang kusut tersebut bukan saja membutuhkan waktu, tetapi sekaligus seperti dimulai dari awal. Memang, dalam situasi sekarang ini, tidak ada kata lain yang paling pantas diucapkan bahwa hampir dalam segala lini kehidupan kita harus memulainya kembali dari awal lagi. Apa yang kita miliki selama ini secara relatif sudah hancur(-hancuran).

Kita harus merunut kembali benang-benang politik yang terlanjur semrawut. Caranya dengan menegakkan etik dan hukum politik yang sesuai dengan nilai-nilai (apakah agama atau pancasila) sejauh hal tersebut memang sesuai dengan kejujuran dan keikhlasan hati nurani. Kita harus mengurai satu persatu benang-benang jaringan ekonomi yang selama ini tentu saja ada salah jalur sehingga KKN merajalela, misalnya.

Benang-benang hukum harus ditegakkan. Walaupun itu berat dan barangkali menyakitkan bagi pihak-pihak tertentu yang selama ini diuntungkan. Benang-benang pendidikan dirajut kembali sedemikian rupa sehingga dapat menghasilkan produk yang bermutu dan poruduknya diharapkan mampu membantu menguraikan benang- benang yang kusut itu.

Masalah SARA, HAM, dan sebagainya harus didefinisikan ulang sesuai dengan tuntutan dan perubahan zaman, dan disosialisasikan sedemikian rupa sehingga diharapkan tidak menambahkan kekusutan, dan sebagainya, dan sebagainya.

Ajakan tersebut tentu saja sangat sulit untuk direalisasikan. Tetapi, tidak ada rumus yang pasti selain kekuatan, kerja keras, dan niat baik dari diri kita sendiri. Seperti kata Tuhan, Allah tidak akan merubah nasib sebuah bangsa (kaum, masyarakat) jika masyarakat tersebut tidak (bermaksud, berniat, tidak mau kerja keras) merubah kehidupannya sendiri. Artinya, kalau niat dan kerja keras itu tidak ada dalam diri kita, jangan menangis kalau nasib bangsa dan masyarakat Indonesia selalu dalam kemalangan. * * *


1 komentar:

  1. Casino in New York, NY - MapYRO
    Hotel Address. 1xbet 먹튀 3433 West Flamingo St., New York, 제주 출장안마 NY 139519. Location. Map of Casino in New York. Casino 광명 출장안마 in New York, NY. Hotel details, reviews and 충청북도 출장샵 photos. 포천 출장안마

    BalasHapus